Transformasi digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan. Namun, di balik kemajuan ini, masih ada kelompok yang tertinggal dalam hal akses yakni kaum difabel. Kesenjangan digital menjadi penghalang besar bagi mereka untuk ikut menikmati manfaat teknologi.Â
Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menunjukkan hanya 34,89% penyandang disabilitas memiliki akses ke ponsel atau laptop, sedangkan pada kelompok non disabilitas mencapai 81,61%. Kesenjangan makin jelas dalam akses internet difabel hanya 8,50%, sedangkan non difabel 45,46%. Tahun 2020 mencatat sedikit peningkatan kepemilikan ponsel oleh difabel menjadi 36,74%, namun akses internet tetap stagnan. Bahkan dari mereka yang sudah memiliki ponsel, hanya 18,9% yang benar-benar bisa terhubung ke internet, berbanding jauh dengan 52,7% dari kelompok non difabel.
Kesenjangan ini tidak hanya mencerminkan ketidaksetaraan dalam pemanfaatan teknologi, tetapi juga memperlihatkan tantangan serius dalam mewujudkan inklusi digital yang adil dan merata. Di tengah dunia yang semakin terhubung, banyak penyandang disabilitas masih menghadapi keterbatasan untuk mengakses informasi, layanan, dan ruang partisipasi digital.Â
Padahal, teknologi seharusnya menjadi alat pemersatu, bukan pemisah. Dalam konteks ini, inklusi digital berarti memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari kondisi fisik, ekonomi, atau sosialnya, mendapatkan peluang yang sama dalam ruang digital. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa transformasi ini belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara adil.Â
Islam, melalui ajaran Al-Qur'an, sejak lama telah menanamkan nilai-nilai keadilan sosial, termasuk terhadap penyandang disabilitas. Surah An-Nur ayat 61 menegaskan bahwa kaum difabel memiliki hak dan posisi sosial yang sama dengan non-difabel. Sementara itu, Surah 'Abasa ayat 1-2 memberikan teguran langsung terhadap perlakuan yang meremehkan atau mengabaikan kaum difabel.Â
Dari sinilah lahir konsep Quranic Inclusion menjadi sebuah pendekatan yang menempatkan nilai-nilai Qur'ani sebagai fondasi etis dalam mendorong transformasi digital yang adil dan manusiawi. Prinsip ini menekankan bahwa kemajuan teknologi tidak cukup hanya canggih, tetapi juga harus berkeadilan sosial dan spiritual. Semua orang, termasuk difabel, berhak mendapat akses terhadap teknologi dan informasi tanpa diskriminasi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa inklusi digital belum sepenuhnya tercapai. Padahal, teknologi digital memiliki potensi besar untuk memberdayakan semua orang tanpa kecuali. Inklusivitas digital seharusnya memastikan bahwa tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang tertinggal, termasuk difabel. Sayangnya, ketimpangan akses ini menunjukkan bahwa transformasi digital yang ada masih jauh dari nilai-nilai keadilan sosial.Â
Dalam pandangan Islam, Al-Qur'an memberikan perhatian khusus terhadap keadilan perlakuan terhadap difabel. Surah An-Nur ayat 61 menegaskan bahwa secara sosial, penyandang disabilitas memiliki hak dan kedudukan yang setara. Bahkan dalam Surah 'Abasa ayat 1-2, Allah menegur Nabi Muhammad SAW karena kurang memberi perhatian kepada seorang tunanetra yang datang menimba ilmu. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan penghormatan terhadap setiap manusia, tanpa terkecuali.Â
Konsep Quranic Inclusion lahir dari kesadaran bahwa prinsip-prinsip Qur'ani harus menjadi fondasi dalam membangun transformasi digital yang lebih adil dan manusiawi. Pendekatan ini mengajak semua pihak pemerintah, pengembang teknologi, masyarakat, dan tokoh agama untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas. Dengan demikian, dunia digital yang kita bangun bukan hanya canggih dan efisien, tetapi juga penuh welas asih, adil secara sosial, dan luhur secara spiritual.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI