Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak awal digadang-gadang sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan siswa sekaligus menekan angka stunting. Program ini dipromosikan dengan penuh optimisme sebagai wujud kehadiran negara dalam menjamin pemenuhan gizi generasi penerus bangsa. Bahkan, tidak sedikit pihak yang menyebut MBG sebagai simbol kepedulian negara terhadap anak bangsa.
Namun, alih-alih membawa harapan sehat, program ini justru menyisihkan jejak pahit yang menimbulkan keresahan publik. Data Badan Gizi Nasional (BGN) hingga 22 September 2025 mencatat 4.711 kasus keracunan akibat konsumsi makanan MBG dengan Pulau Jawa menjadi penyumbang terbesar. Angka ini jelas bukan sekadar statistik. Ini adalah alarm keras bagi negara di balik ribuan kasus anak-anak yang seharusnya tumbuh kuat dan sehat, bukan terbaring lemah yang semestinya menyehatkan mereka.
Hasil uji Laboratorium Kesehatan (Labkes) Jawa Barat mengungkap bahwa bakteri Salmonella dan Bacillus Cereus menjadi penyebab utama keracunan pada ribuan siswa di Kabupaten Bandung Barat. Pada kasus di Ketapang, Kalimantan Barat, ketika menu ikan hiu goreng yang disebut-sebut "sesuai kearifan lokal" malah membuat puluhan siswa dan guru mual serta muntah. Tidak berhenti di situ, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menemukan dugaan bahwa nampan (food tray) yang dipakai dalam distribusi makanan MBG terkontaminasi minyak babi, sehingga persoalan ini bukan sekadar soal higienitas, tetapi juga menyentuh ranah kehalalan pangan.
Faktanya, para pimpinan BGN yang bertanggung jawab atas program raksasa ini justru mayoritas tidak memiliki latar belakang gizi maupun kesehatan. Lima di antaranya adalah purnawirawan TNI, sementara Kepala BGN, Dadan Hindayana, merupakan seorang entomolog (ahli serangga). Tidak heran, ketika ribuan siswa mengalami keracunan, pernyataan Kepala BGN justru menganggap enteng dengan menyebut "hanya" 4.711 porsi yang bermasalah dari 1 miliar porsi.
Fenomena ini memperlihatkan wajah nyata sistem kapitalis yang berorientasi materialistik. Program yang seharusnya mengutamakan keselamatan, gizi seimbang, dan standar halal justru dijalankan dengan logika proyek. Jabatan strategis kerap ditempati bukan karena kapasitas dan rekam jejak profesional dan kompetensi yang relevan. Akibatnya, keamanan pangan dan kesehatan masyarakat direduksi menjadi sekadar angka target dan laporan kinerja di atas kertas. Prinsip efisiensi biaya dan citra proyek mercusuar lebih menonjol daripada tanggung jawab moral untuk menjamin makanan yang aman, sehat, dan halal bagi anak bangsa.
Di dalam Islam, Islam telah menetapkan standar yang sangat tinggi dalam urusan amanah dan kepemimpinan. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil." (QS. An-Nisa [4]: 58). Ayat ini menegaskan bahwa amanah termasuk amanah jabatan dan tanggung jawab publik harus diberikan kepada orang yang ahli di bidangnya. Ketika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, Rasulullah pun mengingatkan: "Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran." Â (HR. Bukhari)
Begitu pula soal pangan, Islam menekankan prinsip all ayyib, yakni makanan yang halal sekaligus baik dan menyehatkan. Allah berfirman: "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan." Â (QS. Al-Baqarah [2]: 168). Prinsip ini menunjukkan bahwa tanggung jawab negara bukan hanya memastikan rakyatnya kenyang, tetapi juga menjamin makanan yang aman bagi jiwa serta memenuhi standar halal dan thayyib.
Dalam pandangan Islam, pengelolaan urusan publik termasuk pemenuhan gizi dan kesehatan rakyat bukanlah proyek administratif semata, melainkan amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Setiap kebijakan harus berlandaskan pada prinsip keadilan, tanggung jawab moral, dan kepemimpinan yang amanah, bukan sekadar hitungan untung-rugi atau kepentingan politik. Negara dalam sistem Islam berkewajiban menjamin keamanan pangan, kehalalan, dan keselamatan masyarakat melalui mekanisme pengawasan yang ketat dan pengelola yang ahli di bidangnya.
Sejarah menunjukan, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, negara benar-benar hadir di tengah rakyat saat musim kelaparan hebat ( ar-Ramadah) di tahun 18 H. Melalui Baitul Mal, Umar memastikan distribusi makanan berjalan merata hingga tak ada warga yang kelaparan. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab menahan diri untuk tidak menikmati makanan layak sebelum rakyatnya tercukupi. Sementara itu, di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717--720 M), penerapan sistem ekonomi Islam yang adil menjadikan kesejahteraan masyarakat meningkat pesat. Diceritakan, petugas zakat pada masa itu kesulitan mencari penerima, karena hampir seluruh kebutuhan dasar masyarakat telah terpenuhi.
Kedua peristiwa ini menunjukkan bahwa ketika amanah kepemimpinan dijalankan berlandaskan syariat Islam, negara tidak berhenti pada tataran administrasi, melainkan benar-benar menjadi pelindung rakyatnya. Prinsip if an-nafs (menjaga jiwa) dan all ayyib (makanan yang halal dan baik) bukan hanya jargon, tetapi menjadi dasar kebijakan publik.