Siapa sangka, Banyumas pernah memiliki pabrik gula bersejarah yang berdiri lebih dari satu abad? Pabrik Gula (PG) Kalibagor, yang dibangun pada tahun 1839, menjadi saksi perkembangan industri gula di Indonesia, dari masa kolonial hingga akhirnya ditutup pada tahun 1997. Sejarahnya penuh dengan kejayaan, perubahan kebijakan, hingga tantangan globalisasi yang mengakhiri operasinya.
Awal Berdirinya: Warisan Kolonial
Pabrik Gula Kalibagor, yang telah berdiri di wilayah Banyumas sejak tahun 1839, merupakan saksi samar dari perjalanan panjang industrialisasi Indonesia. Pabrik ini didirikan oleh pengusaha Inggris yang berani Edward Cooke, dan merupakan bagian penting dari kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda (Aprilia, Irawan, & Budi, 2021). Kalibagor adalah tempat yang tepat untuk pabrik karena tanahnya yang subur menjanjikan hasil tebu yang melimpah. Perjalanan menuju kesuksesan ini, bagaimanapun, tidak mudah. Dimulai dari pantai selatan, melalui Sungai Serayu dan Klawing, hingga mencapai pelabuhan kecil di Sungai Pelus, akses ke lokasi yang terpencil membutuhkan navigasi rumit melalui jaringan sungai. Bahkan, Cooke harus meminta bantuan pasukan khusus Belanda karena ancaman perompak di pantai selatan menunjukkan betapa berbahayanya misi pendirian pabrik ini.
Pabrik Gula Kalibagor mengubah masyarakat setempat. Tidak hanya pabrik ini membawa sistem ekonomi uang ke masyarakat yang sebelumnya lebih terbiasa dengan sistem barter, tetapi juga mengubah struktur sosial yang ada. Bekerja di pabrik gula menjadi simbol status sosial yang lebih tinggi, menimbulkan dinamika baru dalam masyarakat agraris konvensional (Anindita, 2020). Namun demikian, perubahan ini memiliki konsekuensi. Lahan pertanian yang dulunya digunakan untuk menanam jagung atau padi kini digunakan untuk perkebunan tebu. Ini mengubah pola pertanian dan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal. Pabrik menciptakan stratifikasi sosial baru, dengan posisi seseorang di pabrik menentukan tingkat penghormatan yang diterimanya di masyarakat.
Evolusi Pabrik Gula Kalibagor dapat dilihat melalui kemajuan teknologi. Pada tahun 1915, pabrik ini beralih ke penggunaan lori lokomotif uap dan diesel daripada menggunakan hewan seperti kuda untuk mengangkut tebu. Modernisasi ini meningkatkan efisiensi produksi dan memulai era industrialisasi di Banyumas. Untuk mengangkut hasil produksi, dibangun jaringan rel kereta api yang membentang ke seluruh Banyumas. Perkembangan ini menunjukkan bagaimana Pabrik Gula Kalibagor memimpin kemajuan di daerah tersebut.
Meskipun demikian, jalan menuju Pabrik Gula Kalibagor tidak selalu mulus. Krisis malaise tahun 1930-1937 menyebabkan pabrik menghentikan produksi (Petrus, 2021). Pabrik ini diubah fungsinya menjadi pabrik minyak jarak untuk kebutuhan perang Jepang ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Peristiwa ini menunjukkan seberapa fleksibel dan tangguh pabrik dalam menghadapi perubahan kondisi politik dan ekonomi di seluruh dunia. Pabrik Gula Kalibagor bangkit kembali setelah Indonesia memiliki kemerdekaan. Dengan bantuan teknologi dari Jerman, pabrik ini kembali beroperasi pada tahun 1951 di bawah manajemen PTPN Jawa Tengah. Ini menandai transisi dari era kolonial ke era nasional dalam manajemen industri gula.
Nasionalisasi dan Perubahan Kebijakan
Setelah Indonesia merdeka, PG Kalibagor dinasionalisasi pada tahun 1958 sebagai bagian dari kebijakan pemerintah dalam mengambil alih aset-aset milik Belanda. Pabrik ini sempat mengalami masa kejayaan kembali dengan program-program pemerintah seperti Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) yang melibatkan petani dalam produksi tebu.
Namun, berbagai tantangan mulai muncul. Persaingan dengan produsen gula lain, baik dalam negeri maupun luar negeri, semakin ketat. Selain itu, banyak petani yang lebih memilih menanam padi dan tembakau dibandingkan tebu, sehingga pasokan bahan baku untuk pabrik semakin berkurang.
Akulturasi Budaya Pekerja Pabrik
Fenomena akulturasi budaya yang menarik datang dari keberadaan Pabrik Gula Kalibagor. Di lingkungan pabrik, interaksi antara orang Eropa, orang timur asing (seperti Tionghoa), dan orang pribumi menciptakan percampuran budaya yang unik. Ini terlihat dari ritual seperti Chengbeng, atau pernikahan petani tebu, yang berasal dari perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa. Fenomena ini menunjukkan bagaimana pabrik gula berfungsi sebagai pusat pertukaran budaya dan pusat aktivitas ekonomi.
Krisis Ekonomi dan Akhir Perjalanan
Pada dekade 1990-an, kebijakan pemerintah lebih berfokus pada produksi pangan seperti padi, sehingga industri gula semakin terpinggirkan. Teknologi pabrik yang sudah ketinggalan zaman membuat PG Kalibagor sulit bersaing. Puncaknya, krisis ekonomi 1997 menjadi pukulan telak yang menyebabkan pabrik ini mengalami kerugian besar hingga akhirnya ditutup.
Bangunan pabrik yang dahulu megah kini berubah fungsi menjadi pabrik garmen. Namun, jejak sejarahnya masih dapat ditemukan melalui komunitas sejarah setempat, seperti Banjoemas History & Heritage Community (BHHC). Sejarawan lokal Jatmiko Wicaksono (42), yang aktif di BHHC, turut berperan dalam melestarikan peninggalan PG Kalibagor. Menurut Jatmiko, pabrik ini bukan sekadar bangunan industri, tetapi juga bagian dari identitas sejarah Banyumas yang harus dijaga agar generasi mendatang tetap mengenal warisan daerah mereka.
Kisah PG Kalibagor mengajarkan kita bahwa industri harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Keberlanjutan sebuah usaha tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kebijakan yang mendukung serta keterlibatan masyarakat. Sejarah pabrik ini menjadi pengingat bahwa kejayaan industri di masa lalu tidak bisa bertahan tanpa inovasi yang berkelanjutan.
Meskipun PG Kalibagor kini tinggal kenangan, sejarahnya tetap hidup dalam ingatan masyarakat Banyumas. Pabrik ini bukan sekadar tempat produksi gula, tetapi juga simbol dari dinamika ekonomi dan sosial yang terus berubah sepanjang waktu.
Kesimpulan:
Pabrik Gula Kalibagor, yang memiliki sejarah yang panjang dari tahun 1839 hingga 1997, adalah representasi mikroskopis dari proses industrialisasi Indonesia. Pabrik ini, yang didirikan pada masa kolonial Belanda sebagai bagian dari sistem Tanam Paksa, telah mengalami transformasi sosial, ekonomi, dan budaya yang signifikan di daerah Banyumas.
Warisan dari Pabrik Gula Kalibagor dapat ditemukan dalam bangunan bersejarah, kisah masyarakat, dan efek sosial-ekonomi yang ditinggalkannya. Sejarah pabrik ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana kebijakan pemerintah, kemajuan industri, dan kesejahteraan masyarakat berinteraksi satu sama lain. Mereka juga menunjukkan betapa pentingnya mengimbangi kemajuan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan penghargaan terhadap budaya lokal.
Daftar Pustaka
Anindita, K. A. (2020). KINERJA RANTAI PASOK DI PABRIK GULA MADUKISMO DENGAN METODE SUPPLY CHAIN OPERATION REFERENCE-ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (SCOR-AHP). Agrisocionomics: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 4(1), 125-135.
Aprilia, A. T., Irawan, H., & Budi, Y. (2021). Meninjau Praktik Kebijakan Tanam Paksa di Hindia Belanda 1830-1870. Estoria: Journal of Social Sciences & Humanities Vol 1, No 2 .
Breman, J. (1990). 'Even dogs are better off': The ongoing battle between capital and labour in the cane‐fields of Gujarat. The Journal of Peasant Studies, Vol.17, No.4, 546-608.
Dick, B. (2002). Postgraduate programs using action research. The Learning Organization.
Hallermann, J. (1910, Maret 14). De Sumatera Post. Diambil kembali dari Delpher: https://www.delpher.nl/nl/kranten/view?query=Eene+suikeronderneming+in+de+residentie+Banjoemas&coll=ddd&identifier=ddd:010323200:mpeg21:a0049&resultsidentifier=ddd:010323200:mpeg21:a0049&rowid=9
Knight, G. R. (2013). Java sugar and the age of mass production. Leiden: Brill.
Nugroho, A. A., & Assilmi, G. (2023). Hierarki bangunan permukiman pegawai pabrik gula Kaliredjo Sumpiuh Banyumas (1909-1933). Berkala Arkeologi Vol.43 No.1.
Pamikat, R., Wasino, & Atno. (2019). Pabrik Gula Kalibagor: Perkembangan dan Dampaknya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kalibagor Tahun 1957-1997. Journal of Indonesian History 8 (2) .
Petrus, A. (2021). PENGARUH INDUSTRI GULA MASA KRISIS MALAISE TERHADAP MASYARAKAT DI KARESIDENAN JEPARA TAHUN 1930 – 1940. Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah Vol 12, No 2.
Pratiwi, H. N., & Miftahuddin. (2021). PERKEMBANGAN PERKEBUNAN NILA DI KARESIDENAN KEDU MASA TANAM PAKSA 1840-1870. Mozaik: Kajian Ilmu Sejarah Vol 12, No 1.
Priyono, G. G. (2022). REVITALISASI BANGUNAN PABRIK GULA KALIBAGOR SEBAGAI BANGUNAN PENINGGALAN BERSEJARAH. Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Sajogyo, P. H. (1979). Studying rural women in West Java. Studies in family planning, 10(11/12),, 364-370.
Sufandi Iswanto, Z. N. (2020). GAYO HIGHLAND TAKENGON FROM 1904 TO 1942:A HISTORICAL ANALYSIS OF COFFEE PLANTATIONS AT THE ERA OF DUTCH COLONIALISM. Paramita: Historical Studies Journal, 30(1).
Testiana, N. E. (2020). PENYUSUNAN DAN SUBSTANSI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974. Istishab: Journal of Islamic Law, 1(02), 111-122.
Wicaksono, J. (2024, September 15). Sejarah Pabrik Gula Kalibagor 1839-1997. (P. Artikel, Pewawancara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI