Mohon tunggu...
FATHANUDIN YUSUF RIFAI
FATHANUDIN YUSUF RIFAI Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Semarang

Sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah yang berdedikasi dan bersemangat, saya memiliki perpaduan unik antara pengalaman akademis dan ekstrakurikuler. Dengan latar belakang yang kuat di bidang Taekwondo dan partisipasi yang sukses dalam Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka UNM (PMM 4 Awardee), saya telah mengembangkan keterampilan yang berharga dalam disiplin, kerja sama tim, dan kemampuan beradaptasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pabrik Gula Kalibagor: Bangunan Peninggalan Belanda yang Tinggal Kenangan

26 Februari 2025   12:00 Diperbarui: 26 Februari 2025   12:33 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto pribadi penulis saat mengunjungi Pabrik Gula Kalibagor (saat ini Pabrik Garmen)

Siapa sangka, Banyumas pernah memiliki pabrik gula bersejarah yang berdiri lebih dari satu abad? Pabrik Gula (PG) Kalibagor, yang dibangun pada tahun 1839, menjadi saksi perkembangan industri gula di Indonesia, dari masa kolonial hingga akhirnya ditutup pada tahun 1997. Sejarahnya penuh dengan kejayaan, perubahan kebijakan, hingga tantangan globalisasi yang mengakhiri operasinya.

Awal Berdirinya: Warisan Kolonial

Pabrik Gula Kalibagor, yang telah berdiri di wilayah Banyumas sejak tahun 1839, merupakan saksi samar dari perjalanan panjang industrialisasi Indonesia. Pabrik ini didirikan oleh pengusaha Inggris yang berani Edward Cooke, dan merupakan bagian penting dari kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda (Aprilia, Irawan, & Budi, 2021). Kalibagor adalah tempat yang tepat untuk pabrik karena tanahnya yang subur menjanjikan hasil tebu yang melimpah. Perjalanan menuju kesuksesan ini, bagaimanapun, tidak mudah. Dimulai dari pantai selatan, melalui Sungai Serayu dan Klawing, hingga mencapai pelabuhan kecil di Sungai Pelus, akses ke lokasi yang terpencil membutuhkan navigasi rumit melalui jaringan sungai. Bahkan, Cooke harus meminta bantuan pasukan khusus Belanda karena ancaman perompak di pantai selatan menunjukkan betapa berbahayanya misi pendirian pabrik ini.

Pabrik Gula Kalibagor mengubah masyarakat setempat. Tidak hanya pabrik ini membawa sistem ekonomi uang ke masyarakat yang sebelumnya lebih terbiasa dengan sistem barter, tetapi juga mengubah struktur sosial yang ada. Bekerja di pabrik gula menjadi simbol status sosial yang lebih tinggi, menimbulkan dinamika baru dalam masyarakat agraris konvensional (Anindita, 2020). Namun demikian, perubahan ini memiliki konsekuensi. Lahan pertanian yang dulunya digunakan untuk menanam jagung atau padi kini digunakan untuk perkebunan tebu. Ini mengubah pola pertanian dan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal. Pabrik menciptakan stratifikasi sosial baru, dengan posisi seseorang di pabrik menentukan tingkat penghormatan yang diterimanya di masyarakat.

Evolusi Pabrik Gula Kalibagor dapat dilihat melalui kemajuan teknologi. Pada tahun 1915, pabrik ini beralih ke penggunaan lori lokomotif uap dan diesel daripada menggunakan hewan seperti kuda untuk mengangkut tebu. Modernisasi ini meningkatkan efisiensi produksi dan memulai era industrialisasi di Banyumas. Untuk mengangkut hasil produksi, dibangun jaringan rel kereta api yang membentang ke seluruh Banyumas. Perkembangan ini menunjukkan bagaimana Pabrik Gula Kalibagor memimpin kemajuan di daerah tersebut.

Meskipun demikian, jalan menuju Pabrik Gula Kalibagor tidak selalu mulus. Krisis malaise tahun 1930-1937 menyebabkan pabrik menghentikan produksi (Petrus, 2021). Pabrik ini diubah fungsinya menjadi pabrik minyak jarak untuk kebutuhan perang Jepang ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Peristiwa ini menunjukkan seberapa fleksibel dan tangguh pabrik dalam menghadapi perubahan kondisi politik dan ekonomi di seluruh dunia. Pabrik Gula Kalibagor bangkit kembali setelah Indonesia memiliki kemerdekaan. Dengan bantuan teknologi dari Jerman, pabrik ini kembali beroperasi pada tahun 1951 di bawah manajemen PTPN Jawa Tengah. Ini menandai transisi dari era kolonial ke era nasional dalam manajemen industri gula.

Nasionalisasi dan Perubahan Kebijakan

Setelah Indonesia merdeka, PG Kalibagor dinasionalisasi pada tahun 1958 sebagai bagian dari kebijakan pemerintah dalam mengambil alih aset-aset milik Belanda. Pabrik ini sempat mengalami masa kejayaan kembali dengan program-program pemerintah seperti Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) yang melibatkan petani dalam produksi tebu.

Namun, berbagai tantangan mulai muncul. Persaingan dengan produsen gula lain, baik dalam negeri maupun luar negeri, semakin ketat. Selain itu, banyak petani yang lebih memilih menanam padi dan tembakau dibandingkan tebu, sehingga pasokan bahan baku untuk pabrik semakin berkurang.

Akulturasi Budaya Pekerja Pabrik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun