Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jendela yang Tinggal Sebelah

25 Januari 2021   14:09 Diperbarui: 25 Januari 2021   14:31 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi https://m.merdeka.com/bandung/pariwisata/ini-bangunan-rumah-sakit-kuno-di-kota-bandung-dikenal-angker-151209c.html

Dingin malam menusuk ke tulang. Angin begitu kencang. Jendela berkali-kali berderit. Aku bolak-balik mengecek, apa benar-benar sudah terkunci. Rumah kayu ini sebelumnya sudah lama tak berpenghuni. Rumah nenek, dan kini hanya ada aku, sendiri. Kadang ketakutan menghantui.

Ingat, aku tak takut hantu. Bisa apa hantu? Mereka tak punya nyawa. Aku mulai berbincang sendiri. Kutatap cermin yang sudah mulai buram. Menatap diri, meyakini bahwa aku baik-baik saja.

Ketakutan hanya akan menjadi mimpi buruk. Aku mulai menarik selimut. Mencoba menina bobokan diri. Sial, pikiran masih terganggu dengan jendela yang ribut sepanjang malam. Baik, aku akan mengikat dengan tali sekuat-kuatnya jendela ini.

Tali, kemana tali? Berkeliling dapur, hanya ada sepotong tali rafia yang hampir putus. Kembali ke kamar, aku menemukan selendang, selendang ibu yang sudah bukan berwarna merah. Sudah pudar, dan jendela kuikat erat-erat.

Baik, bisakah aku tidur sekarang? Aku mulai menutup mata, kuping, dan pikiran. Pikiran? Bisakah kita menutup pikiran. Entahlah. Tiba-tiba aku sudah melangkah di padang luas. Memakai kebaya dan kain batik ibu, dengan selendang merah terikat di pinggang.

Hanya ada seekor kuda, siapa pemiliknya? Mungkin dia, dia yang kulihat membelakangi.
"Ini dimana bung," teriakku parau. Dia hanya diam. Aku mulai berpikir, apa aku bisa terbang dengan selendang di pinggang? Jika dia mencelakai, aku akan terbang.

Dia tertawa, menertawai tingkah konyolku yang mengepak ingin terbang. Dia memegang bagian jendela yang sebelah. Oh Tuhan, jendela? Bukankah aku sudah mengikatnya?

"Kau harus tahu bahwa aku menyimpan dendam pada sebuah jendela," suaranya berat. 

"Cintaku ditolak dan aku dilempar keluar dari sebuah jendela, lalu mereka berusaha membunuhku dan mereka berhasil," seringainya.

"Lalu, apa aku harus menanggung dosa masa lalu itu?" Jawabku ketir. Tentu saja iya, kau harus mencoba terjun dari sebuah jendela. Tidak, tidak. Aku mulai berlari kencang. Mencari kuda penolong, menyeberang  sungai dan akhirnya jatuh kepayahan. Mataku nanar melihat setitik manusia di kejauhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun