Dingin malam menusuk ke tulang. Angin begitu kencang. Jendela berkali-kali berderit. Aku bolak-balik mengecek, apa benar-benar sudah terkunci. Rumah kayu ini sebelumnya sudah lama tak berpenghuni. Rumah nenek, dan kini hanya ada aku, sendiri. Kadang ketakutan menghantui.
Ingat, aku tak takut hantu. Bisa apa hantu? Mereka tak punya nyawa. Aku mulai berbincang sendiri. Kutatap cermin yang sudah mulai buram. Menatap diri, meyakini bahwa aku baik-baik saja.
Ketakutan hanya akan menjadi mimpi buruk. Aku mulai menarik selimut. Mencoba menina bobokan diri. Sial, pikiran masih terganggu dengan jendela yang ribut sepanjang malam. Baik, aku akan mengikat dengan tali sekuat-kuatnya jendela ini.
Tali, kemana tali? Berkeliling dapur, hanya ada sepotong tali rafia yang hampir putus. Kembali ke kamar, aku menemukan selendang, selendang ibu yang sudah bukan berwarna merah. Sudah pudar, dan jendela kuikat erat-erat.
Baik, bisakah aku tidur sekarang? Aku mulai menutup mata, kuping, dan pikiran. Pikiran? Bisakah kita menutup pikiran. Entahlah. Tiba-tiba aku sudah melangkah di padang luas. Memakai kebaya dan kain batik ibu, dengan selendang merah terikat di pinggang.
Hanya ada seekor kuda, siapa pemiliknya? Mungkin dia, dia yang kulihat membelakangi.
"Ini dimana bung," teriakku parau. Dia hanya diam. Aku mulai berpikir, apa aku bisa terbang dengan selendang di pinggang? Jika dia mencelakai, aku akan terbang.
Dia tertawa, menertawai tingkah konyolku yang mengepak ingin terbang. Dia memegang bagian jendela yang sebelah. Oh Tuhan, jendela? Bukankah aku sudah mengikatnya?
"Kau harus tahu bahwa aku menyimpan dendam pada sebuah jendela," suaranya berat.Â
"Cintaku ditolak dan aku dilempar keluar dari sebuah jendela, lalu mereka berusaha membunuhku dan mereka berhasil," seringainya.
"Lalu, apa aku harus menanggung dosa masa lalu itu?" Jawabku ketir. Tentu saja iya, kau harus mencoba terjun dari sebuah jendela. Tidak, tidak. Aku mulai berlari kencang. Mencari kuda penolong, menyeberang  sungai dan akhirnya jatuh kepayahan. Mataku nanar melihat setitik manusia di kejauhan.