Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, saya ingin menulis tentang Ibu saya yang juga seorang guru. Ibu saya adalah seorang guru SD.Â
Menurut cerita Ibu, dulu Ibu bersekolah di SGB. SGB adalah Sekolah Guru Bawah. Jadi, ketika Ibu tamat SR (Sekolah Rakyat) setingkat SD langsung melanjutkan ke SGB.Â
Lama pengajaran di SGB adalah 4 (empat) tahun. 3 (tiga) tahun pelajaran umum (setingkat SMP) ditambah 1 (satu) tahun pelajaran keguruan. Tamat SGB di tahun 1958, Ibu langsung diangkat menjadi guru.Â
Kebayang ya, kalau di zaman sekarang setingkat SMP langsung menjadi guru. Kemudian oleh pemerintah disaat itu, pada tahun 1974 di tawarkan melanjutkan ke SGA (Sekolah Guru Atas) selama 3 (tiga) tahun, kalau sekarang setingkat SLTA. Pemerintah menanggung penuh biaya dan juga mendapat tunjangan perbulan.Â
Kala itu sangat sulit mencari yang bersedia menjadi guru. Gaji guru di zaman dulu sangat kecil. Banyak guru dari keluarga berada memilih berhenti menjadi guru dan beralih profesi bertani atau berdagang. Keluarga yang berada biasanya mempunyai kebun atau sawah yang luas. Profesi guru dianggap tidak prestisius.
Ibu tetap bertahan menjadi guru karena keadaan keluarga yang susah. Ibu, anak yatim dan nenek hanya berdagang sayur di pasar. Ibu bertemu jodoh dengan Bapak yang bekerja di sebuah kantor Dinas P dan K. Yang waktu itu mengurusi Sekolah dan Guru.Â
Sebagai pasangan muda dengan gaji yang masih kecil, tiap bulan masih di bantu oleh keluarga Bapak Ketika Ibu mengajar, anak-anak yang masih bayi dititipkan pada nenek. Tapi kalau sudah berumur 3-5 tahun pasti dibawa ke sekolah, ikut Ibu mengajar.
Saya, sebagai anak bungsu paling sering ikut Ibu ke sekolah. Umur 5 tahun saya sudah duduk di bangku sekolah dan sudah bisa membaca dan menulis. Tapi tetap umur 7 tahun baru bisa resmi di kelas 1 SD.Â
Saya selalu betah di ruangan perpustakaan yang penuh dengan buku cerita anak-anak. Ibu khusus membawa tikar dan kadang saya tertidur disana. Saya hapal mana buku yang sudah dibaca mana yang belum. Mungkin itu salah satu sebab saya hobby membaca dan menulis sampai saat ini.
Ibu sebagai guru, tidak pernah galak pada muridnya. Tidak pernah mencubit maupun memukul. Karena zaman dulu guru galak-galak. Bagi murid-murid di zaman dulu pasti ingat penggaris kayu panjang milik guru. Ibu pernah 2 kali menjadi wali kelas saya. Dan perlakuannya sama. Baik mengenai nilai atau yang lainnya. Dari kecil Ibu sudah mengajarkan untuk tidak menyontek dan berlaku curang.Â