Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Hari Pendidikan Nasional] Ibu adalah Guru, Guru adalah Ibu

2 Mei 2020   08:10 Diperbarui: 2 Mei 2020   08:17 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan Ibu, ketika ikut Ibu ke sekolah/dokpri

Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, saya ingin menulis tentang Ibu saya yang juga seorang guru. Ibu saya adalah seorang guru SD. 

Menurut cerita Ibu, dulu Ibu bersekolah di SGB. SGB adalah Sekolah Guru Bawah. Jadi, ketika Ibu tamat SR (Sekolah Rakyat) setingkat SD langsung melanjutkan ke SGB. 

Lama pengajaran di SGB adalah 4 (empat) tahun. 3 (tiga) tahun pelajaran umum (setingkat SMP) ditambah 1 (satu) tahun pelajaran keguruan. Tamat SGB di tahun 1958, Ibu langsung diangkat menjadi guru. 

Kebayang ya, kalau di zaman sekarang setingkat SMP langsung menjadi guru. Kemudian oleh pemerintah disaat itu, pada tahun 1974 di tawarkan melanjutkan ke SGA (Sekolah Guru Atas) selama 3 (tiga) tahun, kalau sekarang setingkat SLTA. Pemerintah menanggung penuh biaya dan juga mendapat tunjangan perbulan. 

Kala itu sangat sulit mencari yang bersedia menjadi guru. Gaji guru di zaman dulu sangat kecil. Banyak guru dari keluarga berada memilih berhenti menjadi guru dan beralih profesi bertani atau berdagang. Keluarga yang berada biasanya mempunyai kebun atau sawah yang luas. Profesi guru dianggap tidak prestisius.


Ibu tetap bertahan menjadi guru karena keadaan keluarga yang susah. Ibu, anak yatim dan nenek hanya berdagang sayur di pasar. Ibu bertemu jodoh dengan Bapak yang bekerja di sebuah kantor Dinas P dan K. Yang waktu itu mengurusi Sekolah dan Guru. 

Sebagai pasangan muda dengan gaji yang masih kecil, tiap bulan masih di bantu oleh keluarga Bapak Ketika Ibu mengajar, anak-anak yang masih bayi dititipkan pada nenek. Tapi kalau sudah berumur 3-5 tahun pasti dibawa ke sekolah, ikut Ibu mengajar.

Saya, sebagai anak bungsu paling sering ikut Ibu ke sekolah. Umur 5 tahun saya sudah duduk di bangku sekolah dan sudah bisa membaca dan menulis. Tapi tetap umur 7 tahun baru bisa resmi di kelas 1 SD. 

Saya selalu betah di ruangan perpustakaan yang penuh dengan buku cerita anak-anak. Ibu khusus membawa tikar dan kadang saya tertidur disana. Saya hapal mana buku yang sudah dibaca mana yang belum. Mungkin itu salah satu sebab saya hobby membaca dan menulis sampai saat ini.

Ibu sebagai guru, tidak pernah galak pada muridnya. Tidak pernah mencubit maupun memukul. Karena zaman dulu guru galak-galak. Bagi murid-murid di zaman dulu pasti ingat penggaris kayu panjang milik guru. Ibu pernah 2 kali menjadi wali kelas saya. Dan perlakuannya sama. Baik mengenai nilai atau yang lainnya. Dari kecil Ibu sudah mengajarkan untuk tidak menyontek dan berlaku curang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun