Mohon tunggu...
fateca kurnia akbar
fateca kurnia akbar Mohon Tunggu... mahasiswa

hanya manusia yang suka bersantai

Selanjutnya

Tutup

Trip

Copy Sites Sebagai Ancaman atau Peluang

3 Juni 2025   20:05 Diperbarui: 3 Juni 2025   20:05 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

"Suka pada beranak, ya?" Pertanyaan ini mungkin terdengar santai, tapi menyimpan kenyataan yang makin jelas: jumlah manusia makin banyak aja dari waktu ke waktu. Nah, ramainya populasi ini otomatis bikin banyak hal berubah, termasuk dunia pariwisata. Enggak sedikit lho dampak jelek yang muncul gara-gara ini di bidang jalan-jalan. Konsep overtourism, sumber daya alam yang terbatas, dan dampak lingkungan yang parah adalah beberapa masalah yang sekarang perlu banget kita perhatiin. Makanya, muncul ide "copy sites" atau "wisata tiruan" di pariwisata. Ini adalah ide untuk bikin tempat wisata yang mirip sama aslinya, biar lebih gampang dijangkau dan harganya lebih bersahabat buat wisatawan.

Salah satu efek paling kelihatan dari populasi yang melonjak dan hobi jalan-jalan ini adalah overtourism. Gampangnya, ini kondisi di mana jumlah wisatawan udah kebanyakan banget buat ditampung suatu tempat, baik dari fasilitasnya, lingkungannya, atau budaya masyarakatnya. Bayangin aja pantai yang dulu sepi dan indah, sekarang penuh sesak ribuan orang tiap hari, ninggalin sampah, suara bising, dan ngerusak laut. Ini bukan cuma bikin alam jadi jelek, tapi juga ngilangin pengalaman asli yang harusnya jadi daya tarik utama wisata.

Lebih parah lagi, overtourism itu nyambung langsung sama keterbatasan sumber daya alam. Tempat wisata seringkali ngandelin air bersih, listrik, dan lahan. Kalau tamunya numpuk, permintaan buat sumber daya ini langsung naik drastis, seringkali melebihi kemampuan alam buat pulih lagi. Hotel-hotel dibangun tanpa mikirin air di sekitarnya cukup apa enggak, sampah dari turis nyemarin sungai dan laut, hutan-hutan ditebang buat bangun fasilitas wisata. Ini semua bikin lingkungan rusak terus-menerus dan susah diperbaiki, yang ngancam masa depan pariwisata itu sendiri.

Dampak lingkungan yang gede juga enggak bisa dihindari. Makin banyak polusi dari kendaraan pesawat atau mobil, sampah plastik yang nyemarin laut, sampai hilangnya banyak jenis hewan atau tumbuhan gara-gara habitatnya dirusak sama aktivitas manusia yang berlebihan. Tempat wisata yang populer seringkali jadi korban dari kesuksesannya sendiri, di mana keindahan aslinya pelan-pelan rusak gara-gara aktivitas manusia yang udah kelewatan batas.

Ide ini udah banyak banget diterapin di mana-mana, termasuk Indonesia. Contohnya yang paling kentara itu Monumen Simpang Lima Gumul di Kediri, yang arsitekturnya mirip Arc de Triomphe di Paris, ngasih "rasa Eropa" di tengah Jawa Timur. Ada juga Kampung Eropa di Sumatra Barat, yang sengaja dibangun dengan gaya Eropa buat narik pengunjung. Bahkan, pemerintah Madiun punya rencana mau bangun tiruan Menara Eiffel, miniatur Kakbah, dan Patung Merlion, nunjukin ambisi mereka buat bikin "pusat dunia" di daerahnya.

Di luar negeri, Tiongkok jadi negara yang paling gencar ngembangin konsep ini. Dari tiruan Menara Eiffel sampai Tower Bridge, mereka berhasil bikin "dunia di dalam negeri" yang bikin warganya bisa ngerasain pengalaman global tanpa harus jauh-jauh. Contoh paling baru yang bikin heboh itu replika Gunung Fuji buatan. Bukannya gunung beneran, tiruan ini cuma bukit yang puncaknya dicat putih biar mirip salju. Meski begitu, tetap aja narik minat turis, biarpun biayanya lumayan mahal cuma buat foto di depan "Gunung Fuji" palsu itu.

Nah, pertanyaan pentingnya sekarang: konsep wisata tiruan ini beneran jadi jalan keluar atau malah bikin masalah baru buat dunia pariwisata?

Di satu sisi, konsep ini emang punya beberapa potensi positif. Pertama, bisa bantu ngurangin masalah overtourism di tempat aslinya, biar alam dan fasilitasnya bisa pulih. Kedua, ngebuka kesempatan buat lebih banyak orang ngerasain pengalaman "mirip" dengan biaya yang lebih murah, jadi wisata bisa dinikmati lebih banyak orang. Ketiga, ngembangin wisata tiruan bisa memicu pertumbuhan ekonomi lokal di daerah-daerah yang dulunya enggak punya daya tarik wisata utama.

Tapi, di sisi lain, konsep ini juga punya potensi masalah yang gede. Pertama, dan yang paling utama, adalah masalah keaslian. Wisata tiruan, sebagus apa pun, enggak akan pernah bisa gantiin pengalaman yang asli. Sensasi berdiri di depan Arc de Triomphe yang asli di Paris, dengan sejarah dan budayanya yang kaya, jelas beda sama tiruannya di Kediri. Kehilangan keaslian ini bisa ngerusak inti dari pariwisata itu sendiri, yang harusnya nawarin pengalaman yang unik dan mendalam.

Kedua, ada risiko nilai tempat aslinya jadi turun dan pandangan negatif kalau tiruan terlalu banyak atau kualitasnya jelek. Kalau orang terlalu sering ngelihat versi "palsu" dari sebuah ikon, keistimewaan aslinya bisa aja jadi berkurang. Ketiga, biaya yang enggak sepadan sama pengalaman yang didapet, kayak kasus Gunung Fuji di Tiongkok, bisa bikin kecewa dan ngerusak citra pariwisata secara keseluruhan. Wisatawan mungkin ngerasa "dibohongin" kalau ekspektasi mereka enggak sesuai sama kualitas tiruannya.

Keempat, kalau terlalu fokus ke tiruan, bisa-bisa potensi unik dan khas daerah itu sendiri jadi diabaikan. Kenapa harus niru yang udah ada, kalau bisa ngembangin daya tarik asli yang nunjukkin kekayaan budaya dan alam setempat? Ini bisa jadi bumerang kalau uang banyak dihabisin buat bikin tiruan, padahal potensi asli daerahnya malah enggak digarap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun