Sebagian orang menganggap film hanya hiburan semata, wadah rekreasi, atau konsumsi ringan untuk mengisi waktu luang. Â Padahal, lebih dari itu film merupakan sebuah refleksi dan representasi suatu masyarakat tertentu. Ia bukan sekadar tontonan, melainkan jendela ke dalam struktur sosial suatu masyarakat bahkan bangsa. Hal ini secara tidak langsung akan membentuk cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak. Sebagai bagian dari material culture, film menyimpan nilai, norma, bahkan kekuasaan dalam narasi dan estetika yang ditampilkan.Â
Secara sadar atau tidak, setiap film membawa sebuah ideologi yang berarti seperangkat nilai, kepercayaan, dan asumsi baik terlihat maupun tersembunyi mengenai dunia, masyarakat, perilaku, dan kekuasaan. Ideologi ini muncul dalam banyak bentuk seperti patriarki, kapitalisme, nasionalisme, bahkan kolonialisme budaya. Misalnya dalam film hollywood membawa ideologi kapitalis dengan menampilkan narasi tentang individu yang sukses karena usahanya semata, tokoh laki-laki lebih dominan dan perempuan hanya sebagai pemuas emosional yang menjadi bentuk ideologi patriarki, atau menggambarkan tumpah darah para pahlawan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia yang mengusung ideologi nasionalis.
Hal inilah yang menjadikan teori cultural imperialism menjadi penting. Cultural imperialism merujuk pada dominasi budaya dari negara atau kelompok kuat atas budaya lain yang lebih lemah. Dalam konteks global, industri film negara maju seperti Amerika Serikat atau Korea Selatan telah menjadi alat penyebaran nilai-nilai mereka ke seluruh dunia. Melalui penyebaran film dan serial, masyarakat dunia secara perlahan mengadopsi pandangan hidup, gaya hidup, bahkan struktur nilai budaya dari luar sebagai standar kebenaran dan keindahan. Pada proses ini seringkali tidak disadari oleh penonton bahwa sebuah film sedang mengajarkan dan menanamkan nilai dan norma suatu negara tertentu. Pilihan visual membentuk persepsi dan emosi penonton serta membuat ideologi dalam film tidak terasa sebagai doktrin, tapi sebagai pengalaman sinematik.
Film juga merupakan suatu citra yg bisa menggantikan realitas masyarakat dan berisi sebuah teks yang membentuk wacana yang dapat menyebabkan pertarungan ideologi. Maka dari itu, cara setiap individu dalam menilai dan memaknai sebuah film berbeda-beda sesuai dengan latar pendidikan, pengalaman, dan bacaan. Selain itu, dalam memaknai sebuah film terdapat tiga paradigma yaitu memahami dari sisi pengarang, naskah, dan dari pengalaman pribadi. Misalnya, seseorang bisa menonton adegan tokoh yang makan berlebihan hanya sebagai kelucuan, sementara yang lain bisa membaca itu sebagai kritik terhadap konsumerisme.
Dalam sebuah seni khususnya pada dunia perfilman memiliki lapisan arti yang diibaratkan sebagai rumah yang memberi sebuah koridor atau batasan di setiap ruangnya. Hal ini diartikan, seorang pembuat film mempersilahkan penikmatnya untuk menjelajah setiap ruangan dengan berbagai makna di dalamnya namun tidak membiarkannya keluar dari rumah itu yang dimaksudkan tidak melenceng jauh dari makna yang ingin disampaikan dan merujuk pada hal-hal negatif.Â
Melalui tiga aspek utama yaitu narasi, representasi karakter, dan pilihan visual film tidak hanya menghibur, tetapi juga mengarahkan opini, membentuk sikap, dan menyusupkan ideologi ke dalam kehidupan penontonnya. Ia menjadi saluran penyebaran nilai-nilai dominan yang terkadang bertabrakan dengan nilai lokal. Hal inilah yang disebut cultural imperialism modern, dimana bentuk penjajahan tidak lagi dengan perang dan senjata tajam namun melalui selera dan ditaklukkan secara simbolik dalam sebuah cerita film.Â
Namun, film juga bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap dominasi tersebut. Di Indonesia, sejumlah film mencoba menegaskan ideologi lokal, khususnya nilai-nilai Pancasila, sebagai fondasi naratif dan etis. Film-film ini tidak hanya memotret realitas sosial Indonesia, tetapi juga berupaya menanamkan kembali nilai kebhinekaan, kemanusiaan, dan gotong royong sebagai identitas bangsa dan melawan gelombang globalisasi budaya yang sering membawa nilai-nilai individualisme, konsumerisme, atau budaya instan. Contohnya, film tanah mama, merah putih dan laskar pelangi.Â
Meski begitu, banyak tantangan yang tidak mudah untuk dilewati. Film-film yang mengusung ideologi lokal seringkali berhadapan dengan pasar yang lebih menyukai film impor dengan produksi yang lebih "menarik" secara visual. Di sinilah pentingnya kreativitas tinggi dari pembuat film dengan mengusung nilai ideologi pancasila dalam kemasan yang lebih related dan bermacam-macam genre serta tidak menormalisasikan hal-hal negatif di zaman sekarang seperti budaya patriarki. Dukungan dari negara juga amat dibutuhkan untuk andil dalam mensukseskan pengenalan dan penanaman ideologi lewat layar lebar dan industri kreatif yang lain.Â
Dalam dunia yang terus terpapar budaya global, mempertahankan nilai-nilai Pancasila lewat film bukan berarti menolak budaya asing secara total, tetapi menegaskan bahwa ideologi lokal punya tempat dan relevansi. Segala upaya yang dilakukan ini tidak lain bertujuan agar pancasila tidak hanya menjadi slogan kosong yang tidak berarti. Namun, juga berhasil diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa paksaan dan tuntutan semata. Dalam dunia perfilman banyak sekali ideologi yang bisa diambil, namun tugas sebagai penonton yang kritis ialah memilih ideologi mana yang kita biarkan hidup di dalam pikiran kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI