Implementasi IT Governance: Antara Narasi Strategis dan Realitas Operasional
Sudah terlalu lama istilah "implementasi IT Governance" hidup dalam ruang seminar, slide presentasi yang penuh jargon, dan laporan manajemen yang sarat akronim. Namun pertanyaannya tetap sama: apa sebenarnya yang diimplementasikan? Dalam banyak kasus, implementasi IT Governance tidak lebih dari sebuah teater dokumentasi, bukan proses transformasi nyata yang menyentuh inti proses bisnis.
Kita terjebak pada pemahaman bahwa dengan memiliki kerangka kerja---COBIT, ISO 38500, atau sekadar manual SOP internal---berarti kita telah menerapkan governance. Padahal, governance sejati tidak berhenti pada compliance. Ia seharusnya menciptakan keputusan strategis yang terstruktur, membangun akuntabilitas fungsional, dan menghasilkan nilai bisnis nyata dari investasi TI.
Kerangka Ada, Tata Kelola Tidak
Implementasi IT Governance sering kali didesain untuk menyenangkan auditor, bukan membentuk budaya organisasi. Ketika perusahaan mulai mengadopsi AI, big data, atau cloud computing, kita melihat munculnya kebijakan, pedoman etik, bahkan dashboard kepatuhan. Tetapi apakah dewan direksi atau C-level executives benar-benar terlibat dalam memastikan teknologi yang diadopsi menyatu dengan arah bisnis? Sering kali tidak.
Apa yang terjadi sebenarnya adalah bentuk modern dari pemisahan kekuasaan: tim TI menyusun arsitektur sistem, bagian keuangan membuat justifikasi biaya, dan manajemen puncak menandatangani anggaran tanpa mengerti risiko yang mereka setujui. Ini bukan governance, ini delegasi disfungsional.
AI Datang, Governance Masih Goyah
Dalam konteks adopsi AI, banyak organisasi memosisikan diri seolah-olah telah siap secara struktural. Mereka membeli lisensi AI-based analytics, mengintegrasikan machine learning ke dalam ERP, dan meluncurkan chatbot cerdas. Tetapi tanpa governance yang memadai, semua ini bisa menjadi bumerang digital.
AI memerlukan lebih dari sekadar infrastruktur TI; ia menuntut governance yang matang---mulai dari transparansi algoritma, audit model, hingga pengelolaan bias dan privasi data. Jika tata kelola belum sanggup menjamin akuntabilitas penggunaan spreadsheet, bagaimana mungkin kita percaya bahwa ia bisa mengawasi model prediktif neural network?
Terlalu Banyak Sistem, Terlalu Sedikit Integrasi
Fenomena yang paling umum dalam implementasi IT Governance adalah fragmentasi. Masing-masing divisi punya sistem: keuangan punya sistem ERP, SDM punya HRIS, pemasaran pakai CRM, dan audit pakai tools berbeda. Tetapi siapa yang memetakan dependensi data antar sistem? Siapa yang memastikan bahwa perubahan di satu sistem tidak mengacaukan sistem lainnya?
Dalam banyak kasus, tidak ada peran enterprise architect yang benar-benar berfungsi, tidak ada governance board lintas fungsi yang aktif. Semuanya berjalan seperti orkestra tanpa konduktor. Dan yang lebih menakutkan: keputusan untuk memilih atau mengubah teknologi sering kali berbasis kebutuhan sesaat, bukan strategi jangka panjang.
Bicara Risiko, Tapi Takut Transparansi
Salah satu fondasi dari IT Governance adalah risk management. Tapi ironi muncul saat risiko dibahas panjang lebar hanya untuk menghasilkan dokumen, bukan tindakan. Risiko integrasi data? Diabaikan. Risiko ketergantungan vendor? Ditepis. Risiko privasi pengguna? Ditutupi dengan kebijakan privasi template.