Mohon tunggu...
Farrel Aribah Qatrunada
Farrel Aribah Qatrunada Mohon Tunggu... Selamat membaca

Suka menulis hal-hal random semoga bermanfaat!!

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Sindrom Anak Pertama (Oldest Child Syndrome)

20 Agustus 2025   20:32 Diperbarui: 20 Agustus 2025   20:32 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Menjadi anak pertama, bukan hal yang diimpikan banyak orang dalam kehidupannya. Pasalnya menjadi anak pertama tidak semudah yang dibayangkan. Beban moril pasti akan dipanggul oleh-nya semenjak dilahirkan ke dunia menjadi anak pertama. Berbagai tanggung jawab seakan dilimpahkan kepada dirinya. Sehingga secara tidak langsung, berbagai hal tersebut akan membentuk identitas sang anak pertama. 

Sayangnya tidak semua orang tua paham bahwa berbagai hal yang ia berikan kepada anak pertamanya, bisa sangat berdampak pada identitas dirinya. Pasalnya banyak ditemukan orang tua yang menaruh ekspektasi dan tanggung jawab yang besar. Terlebih lagi, jika sang anak pertama memiliki adik. Pastinya orang tua memberikan tanggung jawab terhadap anak pertamanya untuk menjadi panutan dan berperan dalam membentuk identitas sang adik. Padahal hal tersebut seharusnya tidak terjadi pada anak pertamanya, karena seluruh anak merupakan tanggung jawab sang orang tua. 

Merujuk dari berbagai hal yang sudah dijelaskan di atas, ditemukan juga pernyataan Alfred Alder yang merupakan seorang psikiater Austria. Dikutip dari artikel ipb.ac.id, Alfred Alder menyatakan bahwa urutan kelahiran dapat mempengaruhi kepribadian seorang anak. Dirinya juga menyatakan bahwa anak pertama cenderung mengembangkan sikapnya yang bertanggung jawab. 

Mungkin masih banyak yang belum mengetahui tanda-tanda yang menunjukkan seseorang sudah terkena sindrom anak pertama atau oldest child syndrome. Berdasarkan pernyataan Brandy Smith pada artikel verwellmind.com berikut tanda-tandanya : 

  • Memiliki rasa tanggung jawab yang dirasa sangat besar dan kuat 
  • Mengusahakan kesempurnaan dengan cara teratur (dalam artian anak pertama biasanya perfeksionis) 
  • Memiliki jiwa kepemimpinan 
  • Menjadi seorang yang taat aturan dan dan berperilaku baik 
  • Memiliki sifat ambisius dan berprestasi tinggi 
  • Kadang memiliki sifat kompetitif dan tidak sabar 

Dari berbagai tanda-tanda tersebut, mungkin bagi sebagian orang merasa bahwa itu bisa menjadi nilai tambah bagi sang anak pertama. Namun sayangnya, dari berbagai tanda tersebut bisa memicu stres dan kecemasan bagi sang anak pertama. Terlebih lagi jika dirinya sudah menginjak usia remaja hingga dewasa. 

Meskipun pada kenyataannya, tidak semua anak pertama merasakan tanda tersebut dan berpotensi mengalami sindrom anak pertama. Namun, melalui artikel ini akan dibahas bagaimana cara anak pertama untuk mengatasi sindrom tersebut. Serta akan dibahas juga bagaimana pentingnya peran orang tua dalam mengatasi permasalahan ini. 

Berikut berbagai cara untuk mengatasi dampak dari adanya sindrom anak pertama tersebut : 

  • Sebagai anak pertama mungkin memang dituntut untuk memenuhi ekspektasi dan kesenangan semua orang. Namun sayangnya, hal ini bisa menimbulkan kecemasan. Kesenangan semua orang bukan tanggung jawab sang anak pertama. Sehingga upayakan jangan terlalu keras oleh diri sendiri. 
  • Selalu ingat, bahwa anak pertama bukan orang tua. Sehingga beban moril yang ditangguhkan dari orang tua akan berangsur ringan. Kemudian ubah pikiran, bahwa apa yang adik lakukan bukan merupakan tanggung jawab sang anak pertama.
  • Mulai belajar untuk memprioritaskan diri, karena pada faktanya kebanyakan anak pertama sangat menomor satukan keluarga. Namun tidak banyak dari keluarga yang memprioritaskan anak pertamanya. 
  • Penting untuk memiliki seseorang untuk sekedar besandar dari peliknya kehidupan sebagai anak pertama.

Cara-cara tersebut tentunya akan efektif mengobati sindrom yang anak pertama rasakan jika orang tua mengambil peran yang baik pada sang anak pertama. Lantas bagaimana peran efektif sang orang tua untuk hal tersebut, berikut caranya : 

  • Jangan biarkan anak pertama menjadi panutan utama bagi sang adik. Pasalnya anak pertama juga butuh sosok yang bisa ia jadikan sebagai panutan. Jika orang tua sudah menjadi panutan utama sang anak pertama, secara tidak langsung ia akan melakukan hal yang sama seperti orang tua terhadap adiknya. 
  • Jangan biarkan anak pertama sendiri menghadapi berbagai peliknya kehidupan. Pada faktanya banyak sekali anak pertama yang "tersasar" dalam peliknya kehidupan di bumi ini. Maka dari itu, perlunya perlindungan dari orang tua. Sekedar bertanya tentang kesehariannya dan jangan membiarkan dirinya menghadapi sendirian. 
  • Berikan pemahaman bahwa tidak semua hal harus dicapai oleh dirinya, jelaskan kepadanya bahwa kemampuan setiap manusia itu berbeda. Sehingga sang anak pertama tidak akan merasakan kecemasan jika dirinya tidak bisa mencapai segala ekspektasinya. 
  • Berikan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan sang anak pertama. 

Dari berbagai dampak serta cara-cara mengatasi sindrom anak pertama atau oldest child syndrome semoga bisa membantu para anak pertama untuk berjuang menghadapi peliknya dunia. Tidak semua anak pertama mengalami sindrom anak pertama, namun jika memang mengalami dan merasa hal-hal tersebut mengarah pada gangguan psikologis, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun