Di awal abad ke-19, udara di perbukitan Minangkabau, Sumatera Barat, terasa semakin panas --- bukan karena matahari, melainkan karena api pertentangan yang mulai membara di antara anak-anak negeri sendiri. Masyarakat Minangkabau kala itu hidup dalam dua dunia yang berbeda: dunia adat yang sudah mengakar selama berabad-abad, dan dunia agama yang datang membawa semangat pembaruan dari tanah suci Mekkah.
Semua berawal dari sekelompok ulama Minangkabau yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji sekitar tahun 1803. Mereka bukan hanya membawa pengalaman spiritual, tetapi juga semangat gerakan Wahabi yang saat itu sedang berkembang di tanah Arab. Gerakan ini menyerukan agar umat Islam kembali ke ajaran murni --- tanpa campuran adat, takhayul, atau kebiasaan lama yang dianggap menyimpang.
Sekembalinya ke tanah air, para ulama ini mulai menyeru masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan yang tidak sesuai syariat Islam. Mereka menentang sabung ayam, judi, minum tuak, dan adat matrilineal yang menempatkan garis keturunan dari pihak ibu. Golongan ini kemudian dikenal dengan sebutan kaum Padri, berasal dari kata fakir atau padri yang berarti orang alim atau ulama.
Namun, tidak semua orang menyambut baik gagasan mereka. Kaum Adat, para pemimpin suku dan ninik mamak, merasa bahwa adat adalah jati diri orang Minang yang tidak bisa digantikan. Mereka menilai kaum Padri terlalu keras dan memaksa masyarakat untuk berubah dengan cara-cara yang kasar. Maka, pecahlah pertentangan antara kaum Adat dan kaum Padri --- bukan hanya dalam kata-kata, tapi juga dalam pertumpahan darah.
Awal Pertikaian: Saudara Melawan Saudara
Pertikaian besar itu bermula dari tanah Minangkabau yang subur dan beradat. Di Tanah Datar dan Agam, dua saudara sebangsa dan seiman mulai saling berhadapan --- bukan karena perbedaan darah, tetapi karena perbedaan cara pandang terhadap kehidupan dan ajaran agama. Di satu sisi berdiri kaum Padri, kelompok pembaharu yang dipimpin oleh tokoh-tokoh kharismatik seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Lintau, dan Tuanku Pasaman. Mereka bertekad menegakkan ajaran Islam secara murni, tanpa kompromi. Dari satu nagari ke nagari lain, seruan mereka menggema: menegakkan hukum Allah, membersihkan adat yang dianggap bertentangan dengan syariat, dan memurnikan kehidupan masyarakat dari kebiasaan lama yang dianggap menyimpang.
Namun, semangat pembaruan itu tidak diterima dengan tangan terbuka oleh semua orang. Di sisi lain berdiri kaum adat, penjaga tradisi dan pewaris nilai-nilai leluhur Minangkabau. Mereka meyakini bahwa adat dan agama dapat berjalan berdampingan --- seperti pepatah lama, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Tapi dalam pandangan kaum Padri, adat yang telah bercampur dengan kebiasaan duniawi harus dibersihkan. Pertentangan pun memanas. Nagari yang dulunya hidup rukun mulai diliputi api permusuhan. Rumah-rumah terbakar, ladang menjadi medan perang, dan saudara menumpahkan darah saudaranya sendiri.
Ketika posisi kaum adat semakin terdesak dan kekuatan mereka mulai runtuh, keputusasaan melanda. Dalam langkah terakhir untuk bertahan, mereka mencari sekutu --- bukan dari kalangan sendiri, melainkan dari kekuatan asing yang telah lama mengincar wilayah Sumatera Barat: Belanda. Permintaan bantuan ini menjadi titik balik sejarah. Bagi Belanda, perpecahan di Minangkabau adalah peluang emas untuk menancapkan kekuasaan hingga ke pedalaman. Mereka datang dengan janji perdamaian, tetapi di balik itu tersimpan niat penaklukan.
Pada tahun 1821, Belanda resmi turun tangan. Bukan sebagai penengah, melainkan sebagai penguasa baru yang ingin memperluas jajahannya. Dari pertikaian antar saudara, lahirlah perang yang lebih besar --- Perang Padri --- yang tidak hanya menguji keimanan dan kesetiaan, tetapi juga mengubah arah sejarah Minangkabau selamanya.
Perang Melawan Penjajah: Bangkitnya Tuanku Imam Bonjol