Mohon tunggu...
Farly Mochamad
Farly Mochamad Mohon Tunggu... Sebagai lulusan baru teknologi informasi, saya adalah alumni Kebangsaan Lemhannas 2023 dan peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah Indonesia-Malaysia bersama KRI Dewaruci 2024

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Henricus Christianus Verbraak: Imam di Tengah Badai Perang

11 Oktober 2025   14:35 Diperbarui: 11 Oktober 2025   14:35 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pastor H.C. Verbraak dalam perjalanan dinas di bivak (kemah militer) di Tjotmantjang, Aceh, antara tahun 1896 dan 1898. Foto: KITLV . 

Di antara riuhnya sejarah Nusantara yang dipenuhi dengan kisah peperangan, penjelajahan, dan perjuangan kemerdekaan, ada satu sosok yang jarang disebut dalam buku sejarah resmi, namun jejaknya masih terasa hingga kini. Ia bukan seorang panglima perang, bukan pula penguasa kolonial yang mencatatkan namanya dalam arsip-arsip besar. Sosok ini hadir dalam diam, bekerja di antara luka-luka manusia, dan meninggalkan warisan yang jauh lebih halus: kemanusiaan.

Namanya Henricus Christianus Verbraak, seorang imam Katolik asal Belanda yang hidup di masa penjajahan Hindia Belanda. Berbeda dengan banyak tokoh sezamannya yang menonjol dalam kekuasaan dan konflik, Verbraak memilih jalan yang sunyi --- melayani sesama di tengah situasi penuh kekerasan. Ia hidup di masa di mana perang dan penjajahan merampas banyak hal dari manusia: tanah, kebebasan, bahkan kasih. Namun, di tengah kerasnya zaman itu, Verbraak menunjukkan bahwa iman dan kepedulian dapat menjadi bentuk perlawanan yang paling manusiawi.

Kehadirannya di berbagai daerah, terutama di Aceh dan Bandung, menyisakan jejak spiritual dan kultural yang bertahan hingga kini. Nama Verbraak masih teringat melalui Gereja Hati Kudus Yesus di Banda Aceh, tempat di mana nilai kasih dan pengabdian diwujudkan, serta melalui patungnya di Taman Maluku Bandung, yang sering dianggap sebagai simbol misteri dan legenda. Namun di balik semua simbol itu tersembunyi kisah seorang manusia biasa --- seorang yang bergulat dengan keyakinan, moral, dan empati di tengah kegelapan perang.

Dalam kesunyian dan pengabdian tanpa pamrih, Henricus Christianus Verbraak menunjukkan bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh mereka yang berkuasa atau berperang, tetapi juga oleh mereka yang memilih untuk tetap berbuat baik, meski dunia di sekelilingnya dipenuhi kebencian. Ia adalah sosok yang sunyi, tapi tak pernah hilang.

Awal Kehidupan dan Panggilan Iman

Henricus Christianus Verbraak lahir pada 24 Maret 1835 di Rotterdam, Belanda, sebuah kota pelabuhan yang ramai dan terbuka terhadap berbagai pengaruh budaya serta gagasan baru pada masa itu. Ia tumbuh di tengah Eropa abad ke-19, ketika Gereja Katolik sedang berada dalam masa kebangkitan semangat misi. Gereja kala itu mengirim banyak imam dan biarawan ke daerah-daerah jauh --- dari Afrika hingga Asia Tenggara --- untuk menyebarkan ajaran kasih dan membantu masyarakat yang dilanda kemiskinan serta konflik kolonial.

Sejak usia muda, Verbraak sudah menunjukkan keteguhan iman dan kerendahan hati yang luar biasa. Ia dikenal sebagai sosok yang tekun belajar dan memiliki kepekaan terhadap penderitaan sesama. Dorongan spiritual inilah yang membuatnya memilih jalan hidup yang tidak mudah --- menjadi seorang imam Yesuit, sebuah ordo yang terkenal dengan kedisiplinan keras, kecintaan pada ilmu pengetahuan, dan dedikasi penuh terhadap pelayanan. Setelah melewati masa pendidikan teologi dan formasi panjang, ia akhirnya ditahbiskan menjadi imam, siap menjalankan misi suci yang akan membentuk seluruh perjalanan hidupnya.

Namun, panggilan imannya tidak berhenti di tanah kelahiran. Dunia justru membawanya ke arah yang jauh --- ke timur, ke tanah-tanah yang asing baginya. Ia berangkat menuju Hindia Belanda, wilayah yang kala itu penuh gejolak antara kolonialisme dan perlawanan lokal. Di tempat inilah, Verbraak menemukan makna baru dari imannya: bukan sekadar berkhotbah di altar, tetapi menghadirkan kasih di tengah penderitaan, di antara panas terik tropis, wabah penyakit, dan dentuman perang.

Bagi Verbraak, meninggalkan Rotterdam bukanlah bentuk ambisi atau pencarian diri, melainkan tindakan penyerahan total kepada panggilan Tuhan. Ia ingin menjadi cahaya kecil di tempat yang gelap, mendekap mereka yang tersisih, dan membawa nilai kemanusiaan di tengah kekacauan dunia kolonial. Dari sinilah kisah panjang pengabdian seorang imam yang sunyi tapi berpengaruh itu dimulai.

Langkah Awal di Sumatra

Perjalanan panjang Henricus Christianus Verbraak menuju Nusantara dimulai sekitar tahun 1872, saat ia meninggalkan tanah kelahirannya dan menempuh pelayaran berbulan-bulan menuju dunia yang sama sekali berbeda. Kapalnya akhirnya berlabuh di Padang, Sumatra Barat, sebuah kota pelabuhan penting yang pada masa itu menjadi pintu masuk utama bagi para misionaris, pejabat kolonial, dan pedagang dari berbagai bangsa. Di sana, Verbraak untuk pertama kalinya bersentuhan langsung dengan kehidupan di Hindia Belanda, yang sangat berbeda dari Eropa: iklim tropis yang lembab, keberagaman etnis dan budaya, serta jurang sosial antara penguasa kolonial dan penduduk pribumi.

Selama masa awal pelayanannya di Padang, Verbraak mulai memahami betapa kompleksnya kehidupan di tanah jajahan. Ia tidak hanya melihat kemiskinan dan ketimpangan, tetapi juga menyaksikan keteguhan iman dan semangat hidup masyarakat lokal, yang tetap bertahan di tengah tekanan kolonial. Pengalaman itu membentuk cara pandangnya: bahwa pelayanan rohani tidak bisa hanya berhenti pada ritual gereja, melainkan harus menyentuh sisi kemanusiaan yang paling dalam.

Namun, panggilan tugas yang sesungguhnya menanti di wilayah yang jauh lebih keras --- Aceh. Pada masa itu, kawasan paling utara Sumatra tersebut baru saja menjadi medan pertempuran besar dalam sejarah kolonial Belanda. Perang Aceh, yang pecah sejak tahun 1873, merupakan salah satu konflik terpanjang dan paling berdarah dalam sejarah Indonesia. Ratusan ribu orang menjadi korban, baik dari pihak Aceh maupun Belanda, sementara penderitaan rakyat sipil semakin dalam akibat kekacauan dan wabah penyakit.

Di tengah situasi genting itulah, Henricus Verbraak dikirim. Ia datang bukan sebagai tentara, melainkan sebagai imam dan pelayan kemanusiaan, mendampingi pasukan yang bertugas dan melayani siapa pun yang membutuhkan --- tanpa membedakan asal, suku, atau keyakinan. Keberangkatannya ke Aceh menjadi titik balik dalam hidupnya, sebuah keputusan yang akan menguji tidak hanya kekuatan imannya, tetapi juga makna sejati dari kemanusiaan di tengah medan perang.

Di Tengah Kobaran Perang Aceh

Pastor H.C. Verbraak dalam perjalanan dinas di bivak (kemah militer) di Tjotmantjang, Aceh, antara tahun 1896 dan 1898. Foto: KITLV . 
Pastor H.C. Verbraak dalam perjalanan dinas di bivak (kemah militer) di Tjotmantjang, Aceh, antara tahun 1896 dan 1898. Foto: KITLV . 

Ketika Henricus Christianus Verbraak tiba di Aceh pada tahun 1884, ia segera dihadapkan pada kenyataan pahit yang jauh dari gambaran damai kehidupan religius. Wilayah itu penuh benteng pertahanan, dijaga ketat oleh pasukan bersenjata, dan selalu diselimuti bau mesiu yang menusuk. Suasana tegang dan rasa takut menjadi bagian dari keseharian. Verbraak tidak datang sebagai pejuang atau penakluk, melainkan sebagai imam misionaris, tetapi takdir menempatkannya di tengah salah satu medan perang paling brutal dalam sejarah Nusantara.

Sebagai pastor militer, tugasnya bukan hanya melayani misa atau memimpin doa, melainkan juga menemani para prajurit di saat-saat paling genting. Ia menolong yang terluka, memberi penghiburan bagi yang sekarat, dan memimpin upacara pemakaman bagi mereka yang gugur. Kehadirannya membawa secercah ketenangan di tengah kobaran kekerasan. Dalam catatan sejarah militer Belanda, Verbraak dikenal sebagai sosok yang tidak pernah menolak untuk turun langsung ke medan perang, meskipun ia tidak membawa senjata --- hanya salib dan keyakinan bahwa kasih harus tetap hidup bahkan di tengah kehancuran.

Namun, pelayanannya tidak berhenti di barak-barak militer. Verbraak juga menaruh perhatian besar pada kehidupan rohani masyarakat lokal yang porak-poranda akibat perang. Dengan tekad sederhana, ia membangun gubuk kecil dari kayu yang berfungsi ganda sebagai tempat tinggal dan tempat ibadah. Dari tempat itulah, ia mulai menulis surat-surat panjang kepada pemerintah kolonial, memohon izin dan bantuan untuk mendirikan sebuah kapel yang layak --- bukan demi kemegahan, melainkan agar iman tetap punya rumah di tanah yang terus diguncang konflik.

Doanya terkabul. Pada tahun 1877, pemerintah kolonial memberikan sebidang tanah di Pante Pirak, Banda Aceh, yang merupakan hasil rampasan dari pihak Kesultanan Aceh. Di atas tanah itu, Verbraak mendirikan kapel kayu sederhana, lengkap dengan pastoran kecil tempat ia melayani umat. Namun, ujian datang silih berganti: banjir besar dari Krueng Aceh berulang kali merusak bangunan itu. Setiap kali roboh, ia membangunnya kembali --- seolah ingin menegaskan bahwa iman sejati tidak mudah patah oleh badai.

Akhirnya, pada 5 Februari 1884, Verbraak memulai pembangunan gereja baru yang lebih kokoh dari batu dan bata. Dengan semangat pantang menyerah dan keyakinan mendalam, berdirilah Gereja Hati Kudus Yesus Banda Aceh --- sebuah simbol harapan di tengah kehancuran, dan bukti nyata dari cinta seorang imam yang tak gentar menghadapi perang. Hingga kini, gereja itu masih berdiri tegak, menjadi salah satu gereja tertua di Aceh, serta saksi bisu dari kisah keberanian dan ketulusan seorang rohaniwan yang memilih bertahan demi kemanusiaan.

Imam di Antara Dua Dunia

Kapel B. Alosius di Oelelheu, 1900. Foto: KITLV.
Kapel B. Alosius di Oelelheu, 1900. Foto: KITLV.

Kehidupan Henricus Christianus Verbraak di Aceh tidak pernah berjalan mudah. Ia berada di persimpangan dua dunia yang saling bertentangan: dunia keimanan yang menuntut kasih dan pengampunan, serta dunia kolonial yang diwarnai peperangan, penaklukan, dan kekerasan. Sebagai pastor militer, ia menghadapi dilema moral yang nyaris tak terhindarkan --- bagaimana menjalankan panggilan suci untuk melayani Tuhan, sementara tugasnya membuatnya berada di bawah struktur kekuasaan penjajahan yang justru kerap menindas rakyat yang hendak ia layani. Dalam keseharian, ia harus berdiri di antara dua sisi: tentara yang memegang senjata dan penduduk lokal yang menjadi korban perang.

Meski berada dalam tekanan besar, Verbraak tidak kehilangan arah imannya. Ia memilih jalan kemanusiaan, sebuah jalan yang melampaui batas perintah militer maupun doktrin agama. Banyak kisah dan catatan yang menggambarkan betapa besar kasihnya kepada sesama, tanpa memandang latar belakang atau keyakinan. Salah satu kisah yang paling terkenal terjadi ketika seorang prajurit non-Katolik yang sekarat bertanya kepadanya dengan suara lemah, "Apakah Tuhan akan menerima aku yang bukan Katolik?" Pertanyaan sederhana itu menyentuh hati Verbraak, dan dengan suara lembut ia menjawab, "Anakku, di hadapan Tuhan, kita semua sama. Dia tidak akan menolakmu. Engkau telah berjuang dengan berani dan kini akan pulang kepada-Nya."

Jawaban itu bukan sekadar kata penghiburan; ia mencerminkan pandangan iman yang inklusif dan penuh kasih, jauh melampaui batas agama maupun politik. Dalam situasi perang di mana manusia mudah kehilangan nurani, Verbraak tetap memegang teguh keyakinan bahwa setiap jiwa berharga di mata Tuhan. Ia tidak hanya berdoa bagi prajurit yang seiman dengannya, tetapi juga bagi semua yang terluka, menderita, dan kehilangan harapan.

Melalui sikap dan tindakannya, Verbraak memperlihatkan bahwa iman sejati bukanlah soal dogma, melainkan kasih yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Di tengah dunia yang terbelah antara penjajah dan terjajah, antara tentara dan rakyat, ia berdiri sebagai jembatan kemanusiaan --- seorang imam yang hidup di antara dua dunia, namun tetap berpihak pada nilai-nilai yang abadi: cinta kasih, pengampunan, dan kemanusiaan universal.

Legenda yang Hidup: Dari Aceh ke Bandung

Patung Pastor Henricus Christianus Verbraak S.J di Taman Maluku, Bandung, 1923. Sumber: KITLV.
Patung Pastor Henricus Christianus Verbraak S.J di Taman Maluku, Bandung, 1923. Sumber: KITLV.

Ketulusan dan pengabdian Henricus Christianus Verbraak menjadikannya sosok yang dihormati jauh melampaui tembok gereja. Selama puluhan tahun, ia mengabdikan hidupnya bagi kemanusiaan di tengah perang dan penderitaan, tanpa pernah mencari ketenaran atau kekuasaan. Setelah masa pelayanannya berakhir, Verbraak kembali ke Batavia (kini Jakarta), di mana ia menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dengan tenang hingga wafat pada tahun 1918. Namun, seperti banyak tokoh besar yang hidup dalam kesederhanaan, kisah Verbraak tidak berakhir dengan kematiannya.

Di Banda Aceh, tempat ia menanam benih iman di masa paling sulit, umat Katolik mengenang jasanya dengan mendirikan patung penghormatan. Patung itu berdiri sebagai simbol kasih, dedikasi, dan keteguhan seorang imam yang melayani tanpa pamrih. Sayangnya, saat pendudukan Jepang pada tahun 1942, patung tersebut dihancurkan karena dianggap sebagai lambang kolonialisme Belanda. Meskipun demikian, semangat dan teladan Verbraak tidak ikut hancur. Warisan rohaninya tetap hidup dalam ingatan umat dan masyarakat yang mengenal kebaikannya.

Secara tak terduga, jejak spiritual Verbraak muncul kembali --- kali ini di Bandung, ratusan kilometer dari tempat ia dahulu berjuang. Di Taman Maluku, berdiri patung perunggu Verbraak mengenakan jubah imam, memegang Alkitab, dan menatap tenang ke arah barat, seolah sedang memandang dunia yang dulu ia layani. Patung ini merupakan karya pematung asal Belanda, Gra Rueb, yang dibuat pada awal abad ke-20 dan dikirim ke Hindia Belanda sebagai bentuk penghormatan atas jasa Verbraak. Seiring waktu, patung ini menjadi bagian dari identitas budaya dan spiritual kota Bandung.

Yang paling menarik, masyarakat Bandung menyimpan legenda yang menambah aura misterius sekaligus hangat pada sosoknya. Konon, setiap kali lonceng Angelus di Katedral Santo Petrus Bandung berdentang pada sore hari, patung Verbraak akan menundukkan kepala, seolah ikut berdoa. Cerita ini tentu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, namun menjadi bagian dari folklore kota Bandung yang hidup hingga kini. Bagi banyak warga, patung itu bukan sekadar peninggalan kolonial atau karya seni, melainkan simbol ketulusan, iman, dan kasih universal dari seorang imam yang pernah hidup di antara dua dunia --- dan terus dikenang karena kemanusiaannya.

Gelar dan Penghargaan dari Negeri Asal

Pengabdian Henricus Christianus Verbraak di tanah jajahan tidak luput dari perhatian pemerintah Belanda. Dalam masa hidupnya, ia dikenal bukan hanya sebagai imam yang setia menjalankan tugas rohani, tetapi juga sebagai figur yang memiliki keberanian moral luar biasa di medan perang. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan dedikasinya, pemerintah Belanda menganugerahkan kepadanya sejumlah tanda kehormatan bergengsi. Pada tahun 1884, Verbraak dianugerahi gelar Knight of the Order of the Netherlands Lion, salah satu penghargaan tertinggi di Kerajaan Belanda yang diberikan kepada individu dengan jasa luar biasa di bidang kemanusiaan dan pelayanan publik.

Penghargaan berikutnya datang pada tahun 1899, ketika ia dianugerahi Officer of the Order of Orange-Nassau, sebuah gelar kehormatan yang menegaskan pengakuan atas kontribusinya dalam tugas-tugas sosial dan spiritual di Hindia Belanda. Selain itu, pemerintah juga memberinya Aceh Medal dan Expedition Cross, dua medali militer yang khusus diberikan kepada mereka yang pernah terlibat dalam ekspedisi dan misi di daerah konflik, termasuk Perang Aceh --- meskipun Verbraak hadir bukan sebagai prajurit, melainkan sebagai pendamping rohani yang mengobati luka-luka jiwa di tengah kehancuran.

Namun, bagi Verbraak sendiri, semua penghargaan itu tidak lebih dari formalitas administratif. Ia tidak menganggapnya sebagai simbol kebanggaan, melainkan sebagai konsekuensi dari tugas yang dijalani dengan tulus. Dalam berbagai catatan dan kesaksian rekan seimannya, Verbraak digambarkan sebagai pribadi yang rendah hati, sederhana, dan jauh dari ambisi duniawi. Ia tidak pernah memamerkan medali atau berbicara tentang gelarnya. Baginya, kehormatan sejati bukan terletak pada tanda jasa yang menghiasi dada, melainkan pada pengabdian tanpa pamrih kepada sesama manusia dan Tuhan.

Sikapnya yang demikian menegaskan bahwa Verbraak bukan hanya seorang imam, tetapi juga teladan moral --- seseorang yang menempatkan nilai kemanusiaan di atas pengakuan duniawi. Dalam kesunyian pelayanannya, ia telah membuktikan bahwa kemuliaan sejati terletak pada ketulusan hati, bukan pada penghargaan yang diberikan oleh tangan manusia.

Warisan yang Tak Terhapus Waktu

Hari ini, nama Henricus Christianus Verbraak mungkin tidak tercantum dalam buku-buku sejarah sekolah atau dikenal luas oleh masyarakat umum. Namun, jejak kebaikannya tetap hidup dalam bentuk yang lebih sunyi namun abadi --- pada bangunan, patung, dan kisah yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di Banda Aceh, gereja yang ia dirikan lebih dari seabad lalu, Gereja Hati Kudus Yesus, masih berdiri tegak hingga kini. Meski bangunannya telah beberapa kali direnovasi karena waktu dan bencana, fondasi spiritual yang ditanam oleh Verbraak tetap sama: kasih, kesetiaan, dan doa bagi sesama tanpa memandang perbedaan. Gereja itu bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga monumen hidup dari keteguhan iman di tengah penderitaan.

Sementara itu, di Bandung, patung perunggu Verbraak di Taman Maluku terus menjadi simbol keheningan dan penghormatan. Di antara pepohonan rindang dan suasana damai taman kota, patung itu seolah memancarkan keteduhan. Banyak orang datang sekadar untuk berfoto, namun tidak sedikit pula yang memilih duduk diam, menatap sosok imam itu sejenak --- mungkin merenungkan kesederhanaan, ketulusan, dan keteguhan hatinya. Legenda yang menyelimuti patung tersebut membuat kehadiran Verbraak terasa hidup, seolah ia masih menjaga kota itu dengan doa dan kedamaiannya.

Namun, warisan sejati Verbraak tidak berhenti pada batu, bata, dan perunggu. Ia meninggalkan sesuatu yang lebih dalam --- pesan universal tentang kemanusiaan dan iman. Dari kehidupannya, kita belajar bahwa iman sejati tidak membatasi, tetapi merangkul dan menguatkan. Bahwa seorang rohaniwan bisa hadir di tengah perang bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menenangkan dan menyembuhkan. Dan bahwa kasih dapat tetap menyala bahkan di tengah kegelapan terdalam dalam sejarah manusia.

Melalui teladannya, Verbraak mengingatkan dunia bahwa kebaikan tidak selalu berteriak keras, dan pahlawan sejati sering kali bekerja dalam kesunyian. Ia telah pergi lebih dari seabad lalu, namun roh pengabdian dan kasihnya tetap hidup --- mengalir tenang di antara doa-doa, legenda, dan hati orang-orang yang masih percaya bahwa kemanusiaan adalah wujud paling murni dari iman.

Melihat Verbraak dengan Kacamata Masa Kini

Patung Pastor Henricus Christianus Verbraak S.J di Taman Maluku, Bandung, 2025. Foto: Pribadi.
Patung Pastor Henricus Christianus Verbraak S.J di Taman Maluku, Bandung, 2025. Foto: Pribadi.

Dalam pandangan masa kini, kisah Henricus Christianus Verbraak memang tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah kolonial yang melingkupinya. Ia hidup dan berkarya di bawah struktur kekuasaan Hindia Belanda, sebuah sistem yang pada dasarnya menindas dan mengeksploitasi rakyat pribumi. Posisi Verbraak sebagai pastor militer pun membuatnya menjadi bagian dari mesin kolonial, yang tentu membawa dilema moral dan politik tersendiri. Karena itu, wajar jika sosoknya menimbulkan perdebatan dan kontroversi di kalangan sejarawan maupun masyarakat modern.

Namun, di balik kerumitan itu, kisah pribadi Verbraak membuka ruang refleksi yang lebih dalam. Ia menunjukkan bahwa bahkan di tengah sistem yang keras dan tidak adil, masih ada individu yang berusaha mempertahankan kemanusiaan. Ia mungkin tidak dapat mengubah struktur kolonial yang besar, tetapi dalam lingkup kecil --- di rumah sakit, di parit perang, di gubuk sederhana tempat ia berdoa --- Verbraak menyalakan harapan dan kasih bagi orang-orang yang menderita. Dalam dunia yang diatur oleh kepentingan kekuasaan, ia memilih tetap menjadi manusia yang peduli.

Verbraak adalah contoh nyata dari ambiguitas sejarah --- seorang tokoh yang tidak dapat dipandang hanya dalam hitam dan putih. Ia adalah bagian dari kolonialisme, namun juga sosok yang menolak kehilangan hati nurani di dalamnya. Keberadaannya mengingatkan kita bahwa sejarah tidak selalu dipenuhi pahlawan atau penjahat, melainkan juga orang-orang biasa yang berjuang dengan moralitas di tengah situasi yang rumit.

Justru dari ketidaksempurnaannya itulah kita belajar tentang arti belas kasih yang sebenarnya. Verbraak menunjukkan bahwa kemanusiaan bisa tumbuh bahkan di tempat paling gelap; bahwa iman dan kasih tidak harus sempurna untuk menjadi bermakna. Dalam membaca kisahnya hari ini, kita tidak sekadar menilai, tetapi juga memahami --- bahwa di balik setiap masa sulit, selalu ada cahaya kecil yang berusaha tetap menyala, seperti yang pernah dilakukan oleh Henricus Christianus Verbraak.

Penutup: Cahaya Kecil dari Rotterdam

Henricus Christianus Verbraak meninggal dunia pada tahun 1918, jauh dari tanah Aceh yang pernah menjadi saksi bisu pengabdiannya. Namun, kisahnya tak pernah benar-benar padam. Ia tetap hidup dalam ingatan sejarah, arsitektur gereja, dan doa-doa umat yang mengenangnya bukan semata sebagai bagian dari masa kolonial, tetapi sebagai sosok yang membawa cahaya kemanusiaan di tengah kelamnya peperangan.

Dari Rotterdam hingga Banda Aceh, dari dentuman senjata hingga lantunan doa, perjalanan hidup Verbraak mencerminkan keteguhan iman yang melampaui batas bangsa dan waktu. Ia bukan pahlawan tanpa cela, tetapi seorang manusia yang berusaha tetap setia pada nurani, meski dunia di sekelilingnya dipenuhi kekacauan. Dalam kesunyian ladang perang dan luka kolonialisme, Verbraak menyalakan harapan --- kecil, tapi nyata.

Kini, lebih dari seabad setelah kepergiannya, sosok Verbraak mengingatkan kita bahwa kebaikan tidak selalu lahir dari tempat yang sempurna, dan kemanusiaan bisa tetap bersinar bahkan di tengah bayang-bayang penjajahan. Kisahnya menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini --- antara luka dan pengampunan, antara kekuasaan dan kasih.

Mungkin benar, jika suatu hari patung Verbraak itu tampak menunduk setiap kali lonceng gereja berdentang, itu bukan sekadar permainan cahaya atau angin. Melainkan karena jiwa Verbraak masih ikut berdoa, menundukkan kepala bagi semua jiwa yang pernah tersesat dalam perang, dan bagi mereka yang masih mencari damai di dunia yang sering kali tak memberinya ruang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun