Opini oleh: Farida dan Mar Afriadi, Mahasiswa Magister Pedagogi Universitas Lancang Kuning
“Kita tak kekurangan kebijakan hebat. Yang kita kekurangan adalah kepemimpinan bermakna.”
Kutipan itu terlintas ketika Kami mendalami implementasi Program Sekolah Penggerak (PSP), salah satu inisiatif strategis Kementerian Pendidikan sejak 2021. Dengan jargon “transformasi pendidikan,” PSP menjanjikan loncatan kualitas pendidikan lewat lima intervensi kunci dan jargon ‘berpihak pada murid’. Namun di balik gagasan ambisius itu, timbul pertanyaan mendasar: apakah kepala sekolah kita benar-benar siap menjadi pemimpin perubahan? Atau, apakah mereka masih terjebak dalam paradigma administratif yang membosankan dan prosedural?
PSP mengusung semangat Merdeka Belajar, namun ironisnya, dalam pelaksanaannya masih banyak satuan pendidikan yang "terpaksa bergerak", bukan "tergerak". Banyak kepala sekolah belum keluar dari bayang-bayang pola lama: mengelola dokumen, menyusun laporan, menghadiri rapat, namun lupa membangun ekosistem pembelajaran yang hidup.
Kepemimpinan Sekolah: Sudahkah Transformasional?
Kepemimpinan sekolah seharusnya bukan sekadar jabatan struktural, melainkan peran strategis. PSP menuntut kepala sekolah yang mampu:
- Menginspirasi (kepemimpinan transformasional),
- Mendampingi guru (kepemimpinan instruksional),
- Membagi peran dan wewenang (kepemimpinan distributif),
- Membaca peta dan data mutu pendidikan (kepemimpinan strategis),
- Menjadi teladan moral dan nilai (kepemimpinan spiritual).
Sayangnya, masih banyak kepala sekolah yang enggan "turun ke kelas" atau memberi ruang pada guru untuk tumbuh. Mereka masih menempatkan diri sebagai pengendali, bukan penggerak.
Tantangan Lapangan: Ketika Realitas Tak Seindah Wacana
Dari evaluasi PSP dan berbagai studi, ditemukan problem struktural dan kultural yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan modul pelatihan:
- Guru masih gagap dengan pembelajaran berdiferensiasi.
- Fasilitas TIK minim, khususnya di wilayah 3T.
- Pelaporan administrasi yang tumpang tindih menggerus waktu refleksi.
- Pemerintah daerah tidak selaras mendukung PSP.
- Orang tua belum terlibat aktif sebagai mitra pendidikan.
Jika semua beban itu dipikul oleh kepala sekolah tanpa visi kepemimpinan yang kuat, PSP hanya akan menjadi proyek nasional tanpa transformasi lokal.