Definisi dan Karakteristik Ayat Mutasyabih Kata "mutasyabih" berasal dari akar kata "tasybaha" yang berarti menyerupai satu sama lain atau tidak memiliki makna yang pasti. Ayat mutasyabih dapat bersifat lafzhi (redaksi yang samar) atau ma'nawi (makna yang dalam dan tersembunyi). Ulama klasik seperti Al-Razi membagi ayat mutasyabih menjadi dua: mutasyabih murni (yang tidak dapat diketahui maknanya kecuali oleh Allah) dan mutasyabih nisbi (yang dapat dipahami dengan pendekatan keilmuan tertentu).
Contoh ayat mutasyabih:
"Ar-Rahman 'ala al-'Arsy istawa" (QS. Thaha: 5)
Istilah "istawa" di sini sulit dipahami secara harfiah tanpa membandingkannya dengan sifat Allah yang Maha Tinggi dan tidak menyerupai makhluk-Nya.
Al-Ghazali dalam Jawahir al-Qur'an menekankan bahwa memahami ayat-ayat mutasyabih membutuhkan kedalaman ilmu dan kejernihan hati, serta tidak boleh disamakan dengan ayat-ayat hukum.
Fungsi dan Hikmah Klasifikasi Ini
Klasifikasi ayat menjadi muhkam dan mutasyabih sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran ayat 7 memiliki hikmah yang sangat mendalam, baik dalam konteks pendidikan spiritual maupun metodologi penafsiran. Pertama, ayat-ayat muhkam menjadi rujukan utama dalam hukum Islam dan ajaran dasar yang tidak bisa ditawar atau dimaknai ulang secara sembarangan. Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa ayat muhkam adalah 'ummul kitab' atau induk dari kitab, yang berarti menjadi pijakan utama dalam memahami bagian-bagian lainnya.
Kedua, ayat mutasyabih berfungsi sebagai ruang intelektual dan spiritual. Makna yang belum final dalam ayat mutasyabih memungkinkan terjadinya dinamika tafsir dari zaman ke zaman. Dengan demikian, ayat-ayat ini mendidik umat untuk tetap bersikap rendah hati di hadapan wahyu yang belum seluruhnya terungkap secara literal. Para mufasir seperti Fakhruddin al-Razi, al-Ghazali, dan Sayyid Qutb mengakui bahwa keberadaan ayat-ayat mutasyabih adalah rahmat, bukan kekaburan, sebab dengannya umat didorong untuk terus belajar dan berdialog dengan teks ilahi.
Ketiga, dari segi sosiologis, klasifikasi ini menjadi sarana untuk membedakan antara tafsir yang konstruktif dan yang destruktif. Allah menyebut bahwa orang-orang yang menyimpang cenderung mengejar takwil ayat mutasyabih untuk memancing fitnah. Oleh sebab itu, umat Islam diarahkan untuk memprioritaskan ayat muhkam sebagai dasar berpikir dan menjadikan mutasyabih sebagai ladang tadabbur, bukan sumber konflik.
Keempat, dalam konteks epistemologis, klasifikasi ini menandakan bahwa tidak semua pengetahuan bisa dicapai secara rasional dan empiris. Sebagian wahyu memang ditujukan untuk membimbing manusia melalui iman, bukan logika. Ayat mutasyabih yang berbicara tentang hal-hal gaib seperti surga, neraka, atau sifat-sifat Allah menunjukkan keterbatasan akal manusia dalam memahami yang transenden. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya batas pengetahuan manusia dan menempatkan wahyu sebagai puncak kebenaran.
Kelima, klasifikasi ini juga menunjukkan bahwa Al-Qur'an bukan kitab statis yang hanya berbicara kepada satu zaman. Sebaliknya, ia bersifat dinamis dan terbuka untuk dibaca kembali sesuai dengan tantangan zaman. Oleh karena itu, tafsir terhadap ayat-ayat mutasyabih dapat berkembang seiring perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar yang terkandung dalam ayat muhkam.