Beberapa tahun lalu, ramai diberitakan sebuah desa yang lahannya dibeli oleh Pertamina. Pemilik lahan tersebut mendapatkan ganti rugi yang sangat besar. Tak lama berselang, mobil-mobil baru diangkut memasuki jalanan desa. "Rejeki nomplok" yang diterima oleh pemilik lahan tersebut segera saja dibelikan berbagai barang mewah.
Setahun berselang, penduduk desa "crazy rich" tersebut kembali menuai sorotan. Berbalik dari kemewahan yang sebelumnya menjadi sorotan, kini mereka hidup susah.
Uang hasil penjualan lahan tersebut perlahan menipis. Beberapa bahkan harus menjual asetnya dan hidup dengan kondisi yang lebih menyedihkan daripada sebelumnya.
Kisah semacam itu tidak sulit ditemukan di berbagai desa di Indonesia. Mempertahankan kekayaan seringkali lebih sulit daripada memperolehnya.
Usaha Mikro yang Tidak Pernah Naik Kelas
Di momen idulfitri lalu, saat pulang kampung, saya mendengar suara khas penjual susu langganan saat saya SD dulu. Sontak saya panggil. Dan ternyata benar, yang datang adalah abang susu yang sama dengan yang dua puluh tahun lalu sering saya beli, dengan raut wajah yang jauh lebih tua.
Fenomena seperti ini banyak saya temukan. Ada penjual cilok, penjual gorengan hingga tukang odong-odong. Mereka menua tanpa ada kemajuan.
Di satu sisi, ini merupakan dampak dari kemiskinan struktural. Mereka tidak memiliki kemampuan dan modal yang memadai untuk meningkatkan skala usaha mereka. Namun di sisi lain, ini adalah budaya buruk yang harus dikoreksi oleh sistem pendidikan kita.
Psikologi Uang