Suatu hari di Athena, pada tahun 400an sebelum masehi (SM), seorang pria bernama Themistocles mengemasi barang-barangnya. Dalam beberapa tahun terakhir ia telah berhasil mempertahankan kota Athena dari serangan imperium Persia. Secara de facto dia adalah pemimpin kota itu. Namun hari ini, dewan rakyat telah memutuskan bahwa Themistocles telah melakukan korupsi dan harus keluar meninggalkan Athena.Â
Pada dasarnya Themistocles adalah korban cancel culture. Pengasingan dan pengusiran telah menjadi hukuman yang lazim selama ribuan tahun sejarah peradaban manusia. Suatu kampung atau kota seringkali mengusir penduduknya karena melakukan kejahatan.
Mamasuki zaman modern, seiring dengan pembangunan fasilitas penjara dan penegakkan hak asasi manusia, pengusiran sudah hampir tidak ditemukan. Kejahatan selalu diadili dengan prosedur yang jelas dan pembuktian yang konkret melalui pengadilan. Hal ini merupakan kemajuan hukum karena seringkali "pengadilan rakyat" di zaman dulu menghukum orang yang tidak bersalah.
Namun biar bagaimanapun, perangkat hukum formal tidak dapat menghukum warga negara hanya karena ada pihak yang tersinggung. Pasal "perbuatan tidak menyenangkan" telah dihapus dari KUHP sejak 2013. UU ITE yang selama ini digunakan untuk menghukum pencemaran nama baik mendapat kritik keras dari berbagai kalangan sebagai bentuk represi. Kebebasan yang dijamin demokrasi tidak memungkinkan seseorang dihukum karena ucapannya.
Kondisi ini, ditambah dengan berkembangnya media sosial, adalah bahan bakar sempurna untuk kemunculan cancel culture. Demokrasi memang menjamin kebebasan berpendapat, namun tidak menjamin keamanan dari konsekuensinya, selama konsekuensi tersebut bukan merupakan kekerasan fisik. Artinya, kamu boleh saja memaki seseorang, tapi harus siap dimaki balik.
Cancel culture adalah hukuman kolektif masyarakat sebagai akibat adanya kebebasan berpendapat. Masyarakat selalu punya norma kolektif yang menuntut setiap anggotanya untuk mematuhi. Ketika ada salah satu yang tidak mematuhi, maka ada konsekuensi yang dihadapi. Mengutip lembaga survei Amerika Serikat pewresearch.org, mayoritas warga AS mendefinisikan cancel culture sebagai "tindakan yang dilakukan untuk membuat orang lain bertanggung jawab".
Meski begitu, sebagian lainnya memandang cancel culture sebagai sebuah penyensoran dan penolakan terhadap mereka yang berbeda pendapat. Konsep cancel culture ini memang sangat abu-abu. Seringkali terlihat seperti perundungan, namun di sisi lain terkesan seperti bagian dari kebebasan berpendapat. Misalnya, ketika ada seorang selebritas mengutarakan pandangan politiknya, lalu sebagian kalangan tidak setuju dan menolak membeli karya artis tersebut, hal ini memunculkan pertanyaan moral serius. Apakah ini bagian dari persekusi berdasarkan pandangan politik, yang mana dilarang dalam iklim demokrasi, atau hanya sekelompok orang yang menyuarakan ketidaksetujuannya melalui semacam boikot?
Secara prinsip tindakan boikot tidak menyalahi demokrasi. Ia bagian dari hak konsumen. Boikot terhadap perusahaan yang merusak alam akan membuat perusahaan itu mengoreksi tindakannya. Namun memboikot seseorang atau sebuah organisasi karena pandangan politiknya adalah hal lain. Pihak yang diboikot tidak mungkin mengoreksi hati nuraninya sendiri sesuai kehendak orang lain. Ini karena pandangan politik merupakan suatu hal yang personal.
Lalu bagaimana dengan selebritas yang di-cancel karena ucapan atau tindakannya? Pada dasarnya seorang public figure, baik itu artis, politisi, pemuka agama, atau siapapun itu yang berkarir melalui ketenaran publik, harus memahami bahwa pandangan publik merupakan pondasi dari karir mereka. Sudah menjadi konsekuensi yang melekat bagi mereka bahwa ketidakpuasan publik akan menjadi bumerang bagi karir mereka. Sebuah karya seni yang ditolak karena artisnya blunder sama halnya seperi politisi yang tidak lagi terpilih karena tersandung skandal.
Lantas bagaimana kita menyikapi cancel culture?