Dunia industri terus bergerak dengan perubahan yang cepat. Jika pada masa pasca pandemi kita kerap menyaksikan fenomena job hopping karyawan dengan kompetensi tinggi menuntut gaji, tunjangan, hingga pola kerja jarak jauh, kini tren tersebut mulai bergeser. Selama bertahun-tahun, Gen Z sering mendapatkan label sebagai kutu loncat dalam dunia kerja. Mereka dikenal gemar berpindah-pindah pekerjaan dengan cepat demi gaji yang lebih besar, pengalaman baru, atau lingkungan kerja yang dianggap lebih sesuai. Fenomena ini dikenal dengan job hopping. Namun, tren terbaru menunjukkan perubahan menarik. Setelah fenomena job hopping pada awal karir, kini sebagian besar Gen Z justru mulai menghadapi fenomena sebaliknya. Job hugging, bertahan terlalu lama pada satu pekerjaan karena merasa aman dan nyaman.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Data global menunjukkan pola bergeser dari mobilitas tinggi menuju kecenderungan bertahan. Laporan Randstad 2025 Gen Z Workplace Blueprint mencatat bahwa rata-rata Gen Z hanya bertahan sekitar 1,1 tahun pada lima tahun pertama karir mereka. Meski mobilitas masih tinggi, hanya 11% Gen Z yang berniat menetap lama di pekerjaan saat ini. Sebuah indikasi munculnya dilema antara mencari peluang baru atau bertahan demi rasa aman. Di Indonesia, gambaran serupa terlihat. Survei JakPat (2024) menunjukkan sekitar 31% Gen Z bertahan 1-2 tahun, dan 24% bertahan lebih dari 2 tahun di satu tempat kerja. Dengan tingkat pengangguran terbuka bagi usia muda mencapai 16,16% (BPS, 2025), pilihan bertahan seringkali dianggap langkah realistis ketimbang berisiko kehilangan pekerjaan.
Job hugging secara definisi berarti memeluk pekerjaan. Namun fenomena ini dapat dijelaskan pada kondisi karyawan yang bertahan dalam satu pekerjaan karena berbagai alasan yang kerap kali identik dengan alasan negatif. Fenomena ini terjadi Ketika karyawan memilih untuk bertahan pada pekerjaan mereka saat ini walaupun yang mereka Jalani tidak lagi memuaskan. Karyawan melakukan job hugging mungkin menyadari ada peluang lain, tetapi memilih bertahan karena takut kehilangan rasa aman atau bahkan justru blunder jika mencoba peluang baru yang belum pasti. Dari perspektif teori kebutuhan Maslow (1943) keputusan ini menunjukkan dominannya kebutuhan akan keamanan (safety needs). Keputusan ini menunjukkan kebutuhan. Gen Z yang sebelumnya dikenal mengejar aktualisasi diri dan penghargaan (didorong oleh job hopping), kini terpaksa memprioritaskan Kebutuhan akan keamanan (safety needs) yang paling mendasar. Dalam menghadapi ancaman PHK dan gejolak ekonomi, stabilitas finansial menjadi kebutuhan utama yang mengesampingkan ambisi karir, kepuasan kerja, atau pertumbuhan diri. Job hugging dengan demikian merupakan manifestasi dari perilaku bertahan hidup (survival), bukan lagi strategi untuk berkembang (thriving) dalam karir.
Pergeseran dari job hopping ke job hugging menunjukkan bahwa kini kendali berada pada kursi pengemudi. Perubahan tajam ini membuat banyak pekerja merasa “asam” terhadap pasar kerja saat ini, terutama setelah mereka merasakan keleluasaan. Dalam kerangka Herzberg’s (1959) Two-Factor Theory, alasan bertahan seringkali lebih didorong oleh hygiene factors (gaji, keamanan kerja, stabilitas) daripada motivators (kesempatan berkembang, pencapaian, tanggung jawab).
Fenomena job hugging bertahan terlalu lama di satu pekerjaan karena merasa aman tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah faktor yang mendorong generasi muda, khususnya Gen Z untuk menahan diri dari kebiasaan job hopping yang dulu sempat marak.
1. Ketidakpastian Ekonomi
Situasi ekonomi global dan nasional sedang tidak menentu. World Economic Forum (2025) mencatat penurunan drastis lowongan entry-level hingga 29 poin persentase sejak 2024. Di Indonesia, data BPS (2025) menunjukkan angka pengangguran Gen Z mencapai 16,16%, tertinggi dibanding generasi lain. Lonjakan harga, biaya hidup yang semakin mahal, serta gelombang PHK membuat anak muda lebih realistis. Mereka cenderung memprioritaskan keamanan finansial jangka pendek dibanding ambisi jangka panjang. Hal ini bisa terjelaskan melalui teori social exchange (Blau, 1964) individu menimbang risiko dan keuntungan. Bertahan dipersepsikan lebih menguntungkan dibanding resign yang belum tentu menghasilkan pekerjaan lebih baik.
2. Kelelahan Psikologis akibat job hopping
Meski sering berganti pekerjaan memperluas pengalaman, ternyata hal ini juga menimbulkan keletihan adaptasi, harus membangun jejaring baru, menyesuaikan diri dengan budaya kerja berbeda, hingga menghadapi ketidakpastian karir. Survei Gallup (2024) menemukan 62% Gen Z mengaku merasa stres setiap hari di tempat kerja. Tidak mengherankan bila kini stabilitas lebih dihargai dibanding terus berpindah tanpa arah yang jelas.
3. Perubahan Prioritas Nilai
Gen Z tidak lagi melihat gaji sebagai satu-satunya tolok ukur. Survei Unstop (2024) mengungkap bahwa 72% Gen Z lebih mementingkan kepuasan kerja dan work-life balance, sementara 77% mengutamakan perusahaan yang memberi peluang pengembangan karir. Artinya, selama faktor non-finansial seperti keseimbangan hidup, kesempatan belajar, dan lingkungan kerja sehat terpenuhi, mereka akan lebih memilih bertahan. Fenomena ini bisa dijelaskan dengan Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 2000), yang menekankan pentingnya kebutuhan psikologis akan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. Selama kebutuhan ini terpenuhi, Gen Z lebih cenderung bertahan.
4. Ancaman Teknologi dan Otomatisasi
Kemajuan teknologi, khususnya Artificial Intelligence (AI), semakin menekan pasar kerja. World Economic Forum (2023) memprediksi 14 juta pekerjaan berpotensi hilang pada 2028 karena otomatisasi. Bagi Gen Z yang baru memulai karir, ancaman ini mempersempit pilihan. Banyak yang akhirnya memilih bertahan pada pekerjaan yang ada, meskipun tidak sepenuhnya sesuai harapan, daripada mengambil risiko keluar dan tersisih oleh teknologi. Dalam kerangka career construction theory (Savickas, 2005), tekanan eksternal ini memicu pergeseran logis dalam adaptabilitas karir Gen Z. Daripada menggunakan curiosity untuk mencari peluang baru yang berisiko, Gen Z mengintensifkan concern (kekhawatiran akan stabilitas) dan berupaya merebut kontrol dengan meminimalkan transisi. Job hugging adalah tindakan rasional dan adaptif untuk mengkonstruksi pertahanan, mengubah narasi karir pribadi dari fokus pada pertumbuhan ambisius menjadi pengamanan keberlangsungan di tengah ketidakpastian masif.
5. Tekanan Sosial dan Budaya
Dalam konteks Indonesia, faktor budaya punya peran besar. Banyak keluarga masih memandang pekerjaan stabil terutama menjadi ASN sebagai simbol keamanan hidup jangka panjang. Dorongan orang tua agar anak "cepat mapan" membuat sebagian Gen Z lebih condong memilih pekerjaan yang memberi jaminan finansial, meski mungkin kurang sesuai dengan minat dan passion pribadi.
Meskipun job hugging menawarkan rasa aman secara finansial, kenyamanan zona bekerja, dan menjadi strategi bertahan sementara di tengah sulitnya pasar kerja, konsekuensi jangka panjangnya cenderung lebih serius dan melemahkan potensi karir Gen Z.
1. Jebakan Stagnansi Karir
Stabilitas yang dipaksakan oleh job hugging sering kali berujung pada stagnansi karir. Karyawan menjadi rentan karena mereka menghindari tantangan baru, hanya mengulang rutinitas yang sama untuk meminimalisir risiko. Kurangnya paparan pada proyek-proyek inovatif atau tanggung jawab yang berkembang membuat keterampilan mereka terhenti. Secara paradoks, karyawan yang "bersembunyi" dari perubahan pasar justru berisiko mengalami skill obsolescence (keterampilan usang), yang akan menurunkan nilai pasar mereka ketika mereka akhirnya memberanikan diri untuk job-hop lagi.
2. Hilangnya Potensi Finansial
Bertahan terlalu lama di pekerjaan yang sama dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan, yang sering disebut salary gap atau kesenjangan gaji. Rata-rata kenaikan gaji saat seseorang pindah kerja berada pada kisaran 15% atau lebih, jauh melampaui kenaikan rata-rata sebesar 4% hingga 6% yang didapat jika bertahan di tempat kerja lama. Dengan job hugging, Gen Z secara sadar menukar potensi pendapatan tinggi di masa depan dengan keamanan yang relatif kecil di masa kini.
3. Loyalitas Rapuh dan Perasaan Terjebak
Penting untuk membedakan motivasi job hugging bukanlah quiet quitting (protes pasif), melainkan pilihan strategis untuk bersembunyi di balik stabilitas di tengah ketidakpastian ekonomi. Rasa takut, yang dipicu oleh ancaman PHK dan perlambatan pasar, membuat karyawan hanya menunggu badai berlalu. Namun, loyalitas yang tercipta ini sangat rapuh. Laporan Glassdoor Workli Trends 2025 menunjukkan bahwa 65% pekerja merasa terjebak dalam kondisi ini. Angka ini mengindikasikan bahwa job hugging hanyalah penundaan, dan kelompok ini siap terjun mencari peluang baru segera setelah pasar kembali memberi sinyal positif.
Fenomena job hugging bisa dilihat dari dua sisi. Disatu sisi, kecenderungan ini menunjukkan bahwa Gen Z mulai lebih realistis, menghargai stabilitas, dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi pasar kerja yang penuh ketidakpastian. Mereka tidak lagi terjebak dalam euforia mengejar gaji tinggi semata, melainkan mulai memikirkan kesehatan mental, work-life balance, dan keberlanjutan karir jangka panjang.
Namun, di sisi lain, ada risiko yang tidak bisa diabaikan. Bertahan terlalu lama di zona nyaman berpotensi membuat anak muda kehilangan momentum untuk berkembang. Rasa aman bisa berubah menjadi jebakan keterampilan stagnan, jaringan profesional terbatas, hingga peluang karir lebih baik yang terlewatkan. Dalam jangka panjang, ini dapat mengurangi daya saing individu maupun produktivitas tenaga kerja Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI