Mohon tunggu...
farhaani khalida
farhaani khalida Mohon Tunggu... Pelajar

Menulis merupakan salah satu bentuk pengembangan diri yang saya tekuni secara konsisten. Melalui aktivitas ini, saya dapat menuangkan ide, menganalisis isu, serta menyampaikan gagasan secara sistematis dan konstruktif. Menulis juga saya jadikan sebagai sarana untuk terus melatih kepekaan terhadap berbagai fenomena sosial dan memperluas wawasan lintas bidang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gagalnya Legitimasi Kekuasaan Negara dalam Kebijakan Otonomi Khusus Papua:

28 Juli 2025   15:10 Diperbarui: 28 Juli 2025   15:04 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam perspektif ilmu politik, otoritas dapat diartikan sebagai kekuasaan yang sah, yakni kemampuan untuk memerintah dan mengatur yang diakui serta diterima oleh mereka yang diperintah. Otoritas merupakan elemen utama dalam pembahasan tentang legitimasi, di mana legitimasi adalah alat untuk mengukuhkan dan memperkuat otoritas itu sendiri. Max Weber, sosiolog Jerman terkemuka, mengklasifikasikan otoritas menjadi tiga jenis: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Dalam konteks negara modern, otoritas legal-rasional adalah bentuk yang paling dominan, di mana kekuasaan dijalankan berdasarkan hukum, peraturan, dan sistem birokrasi yang rasional. Dalam konteks Indonesia, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan bentuk nyata dari otoritas legal-rasional. UU ini dibentuk oleh negara melalui proses formal yang sah dengan tujuan untuk meredam konflik, mengakomodasi hak-hak politik dan budaya Orang Asli Papua, serta memperkuat integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini justru mengalami krisis legitimasi politik dan sosial di kalangan masyarakat Papua.

Pembentukan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua pada tahun 2001 berawal dari meningkatnya ketegangan politik dan sosial di Papua, termasuk tuntutan kemerdekaan yang semakin kuat pasca reformasi 1998. Pemerintah pusat, terutama pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, mencoba menanggapi tuntutan ini dengan pendekatan yang lebih dialogis dan akomodatif, salah satunya melalui pemberian status otonomi khusus kepada Papua. Draf awal UU Otsus sebenarnya dirancang oleh tim intelektual dan tokoh masyarakat Papua, yang sebagian besar berasal dari kalangan akademisi dan LSM. Rancangan ini berisi berbagai konsesi politik dan sosial-ekonomi, seperti pengakuan terhadap identitas budaya Papua, pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), prioritas pendidikan dan kesehatan bagi Orang Asli Papua, serta pengelolaan sumber daya alam secara adil. Meski demikian, banyak kelompok pro-kemerdekaan tidak dilibatkan secara langsung dalam perumusan kebijakan ini. Hal ini menjadi awal dari permasalahan legitimasi politik. Sebelum Undang-Undang Otonomi Khusus ditetapkan, posisi Presiden Abdurrahman Wahid telah digantikan oleh wakilnya, Megawati Soekarnoputri. Tekanan dari masyarakat Papua yang menuntut keadilan hingga kemerdekaan turut memengaruhi sikap Presiden Megawati, yang pada akhirnya merespons dengan menandatangani Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pada 21 November 2001.

Beberapa peristiwa penting yang melatarbelakangi penandatanganan UU Otsus antara lain adalah Musyawarah Besar (Mubes) Papua pada 23 Februari 2000 dan Kongres Rakyat Papua II (KRP II) pada 29 Mei–4 Juni 2000. Pasca KRP II, pemerintah pusat merasa sangat cemas terhadap perkembangan situasi sosial-politik di Papua. Kekhawatiran ini tercermin dalam Nota Dinas Direktur Jenderal Kesbang dan Linmas Depdagri pada 8 Juni 2000 yang meminta aparat keamanan untuk menangani permasalahan Papua secara lebih serius. Situasi tersebut turut mendorong penandatanganan UU Otsus oleh Presiden Megawati. Undang-Undang Otonomi Khusus yang diinisiasi sejak masa pemerintahan Presiden Wahid akhirnya mulai diberlakukan. Kelahiran Otsus menjadi titik balik bagi pemerintah dalam upaya melindungi hak-hak penduduk asli Papua serta melibatkan mereka secara aktif, baik sebagai penerima manfaat maupun sebagai pelaku dalam proses perubahan sosial di wilayah tersebut.

Setelah disahkan, UU Otsus memang diakui secara legal dan sah oleh negara, sehingga secara teori sudah memenuhi bentuk legitimasi legal-rasional sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat ketidakpuasan di kalangan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Sebagian besar masyarakat masih menginginkan bentuk otonomi yang lebih luas, bahkan tidak sedikit yang menyuarakan keinginan untuk merdeka secara penuh. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kebijakan Otonomi Khusus belum sepenuhnya berhasil dalam menjawab dan memenuhi aspirasi politik masyarakat Papua.

 Dalam implementasi kebijakan Otonomi Khusus Papua, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi aspek yang sangat penting untuk dianalisis. Laporan dari berbagai sumber menunjukkan adanya ketidaksinambungan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakan ini. Selain itu, juga terdapat permasalahan terkait korupsi dan penyalahgunaan dana Otonomi Khusus, yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Hal ini tentunya menghambat efektivitas implementasi kebijakan Otonomi Khusus. Manfaatnya belum dirasakan merata oleh masyarakat Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Masalah seperti korupsi, lemahnya tata kelola, ketimpangan pembangunan, dan minimnya partisipasi masyarakat asli Papua dalam pengambilan keputusan menjadi hambatan utama. Selain itu, sejumlah kebijakan pusat justru bertentangan dengan semangat otonomi, seperti pemekaran wilayah tanpa persetujuan lembaga representatif Papua (MRP dan DPRP). Hal ini menimbulkan kekecewaan dan mendorong ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap negara

Ini yang memicu gagalnya legitimasi negara dalam membangun kepercayaan terhadap rakyat papua itu sendiri, dimana rakyat Papua ini tidak mengakui adanya UU Otsus karena dianggap lebih merugikan masyarakat Papua daripada memberikan keuntungan kepada masyarakat Papua itu sendiri. Hal ini menimbulkan kekecewaan dan mendorong ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap negara, sehingga legitimasi politik dari kebijakan ini melemah seiring waktu.

2.2 Analisis dalam Konteks Teori Elit, Gagalnya Legitimasi Kekuasaan Negara dalam Kebijakan Otonomi Khusus Papua: Studi atas Respons Politik Rakyat Papua

Menurut Vilfredo Pareto, dalam setiap masyarakat, akan selalu ada kelompok kecil yang menduduki posisi paling berkuasa—mereka inilah yang disebut elit. Elit adalah orang-orang yang memiliki kelebihan tertentu, entah dalam bentuk kekayaan, kecerdasan, strategi, atau pengaruh. Sementara itu, sebagian besar masyarakat lainnya tidak memiliki kekuasaan sebesar mereka, dan biasanya hanya menjadi pengikut atau penonton dalam proses pengambilan keputusan penting.

Pareto menyebut bahwa kekuasaan di tangan elit itu tidak bersifat tetap. Akan selalu ada pergantian elit, atau yang ia sebut dengan istilah sirkulasi elit. Artinya, elit lama bisa saja digantikan oleh elit baru, tetapi yang berganti hanyalah orang-orangnya—bukan sistemnya. Kekuasaan tetap berada di tangan segelintir orang, dan masyarakat luas tetap sulit masuk ke dalam lingkaran tersebut. Pareto juga membedakan antara dua tipe elit: "elit singa", yang mempertahankan kekuasaan dengan kekuatan, dan "elit rubah", yang mempertahankan dominasinya melalui kelicikan dan strategi .

Kondisi ini dapat dilihat secara nyata dalam dinamika pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua sejak disahkannya UU No. 21 Tahun 2001. Di atas kertas, Otsus dirancang untuk memberi ruang lebih besar bagi masyarakat Papua dalam mengatur urusan daerahnya sendiri, melalui lembaga-lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun dalam praktik, kewenangan yang diberikan kepada lembaga-lembaga ini bersifat terbatas, terikat, dan sering kali dikerdilkan oleh dominasi politik pusat. Banyak keputusan penting, termasuk dalam hal penganggaran, pemekaran wilayah, dan arah kebijakan pembangunan, tetap ditentukan oleh elite di Jakarta.

Hal tersebut mencerminkan bahwa bagaimana elite pusat memainkan peran strategis untuk mempertahankan hegemoni dengan cara halus. Bukan dengan represi terbuka seperti gaya “singa”, melainkan dengan membingkai kekuasaan dalam bahasa pembangunan, regulasi, dan representasi semu. Seolah-olah rakyat Papua telah diberi ruang untuk menentukan nasibnya sendiri, padahal ruang tersebut dikendalikan secara ketat oleh negara, tanpa benar-benar membuka jalan menuju partisipasi yang bermakna. Bisa dibilang hanya tampak kompromistis, tetapi di baliknya tetap mempertahankan kontrol sepihak dan mengamankan kepentingan pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun