Perbatasan wilayah, baik darat maupun laut, kerap menjadi salah satu sumber sebuah konflik antara negara-negara berdaulat. Sengketa maritim antara negara Peru dan negara Chili yang berpuncak pada putusan Mahkamah internasional (International Court Of Justice/ICJ) pada tahub 2014, yang menjadi salah satu contoh nyata bagaimana konflik wilayah dapat diselesaikan  melalui sebuah mekanisme hukum internasional secara damai dan konsturktif. Kasus ini  bukan hanya berdampak bagi kedua  negara, akan tetapi berdampak juga bagi perkembangan hukum laut Internasional.
Latar Belakang Konflik Peru vs Chili
Sengketa ini berakar dari sebuah keetidaksepakatan tentang batas maritim di Samudera Pasifik bagian Selatan.
peru berpendapat bahwa belum pernah ada sama sekali perjanjian formal yang menetapkan batas maritim antara kedua negara. Sementara Chili menyatakan bahwasanya batas tersebut telah dilaksanakan secara de facto dan de jure sejak pertengahan abad ke-20 berdasarkan  Deklarasi Santiago 1952 dan perjanjian-perjanjian lanjutan tahun 1954, yang sebagaimana menurut mereka menetapkan garis pararel sebagai batas maritim.
Ketidaksepakatan ini diperumit oleh faktor-faktor seperti aktifitas perikanan tradisional, penegakan hukum di laut, dan hak atas sumber daya alam laut. Sengketa wilayah tersebut mencakup area laut seluas sekitar 38.000 km yang memiliki sebuah potensi ekonomi besar, khususnya dalam bidang perikanan.
Proses Hukum di Mahkamah InternasionalÂ
Pada 16 januari 2008, peru secara resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional(ICJ) di Den Haag. Dalam permohonannya, Peru meminta pengadilan untuk menetapkan batas maritim yang adil(equitable delimitation) berdasarkan prinsip garis ekuidistan(equidistance line), sebagaimana tercantum dalam United Nations Convention on the law of the sea (UNCLOS).
Argumen dari pihak Peru ini menyatakan bahwa tidak ada perjanjian yang ekspilisit menetapkan batas maritim permanen, lalu pihak Peru menyatakan pula bahwasanya Deklarasi Santiago dan dokumen 1954 lebih bersifat administratif untuk pengelolaan sumber daya, bukan sebagai perjanjian batas maritim, pihak Peru pula menuntut agar batas laut ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan dan proporsionalitas.
Argumen dari pihak Chili ini pula menyatakan bahwasanya terdapat batas maritim yang telah diterapkan dan dihormati oleh kedua belah pihak sejak taun  1950-an, Argumen dari pihak Chili ini pula berpendapat bahwa adanya praktik penegakan hukum bersama dan penangkapan ikan secara eksklusif oleh masing-masing negara sebagai bukti pengakuan atas garis pararel, dan peru dianggap telah menerima dan menjalankan batas tersebut selama beberapa dekade, sehingga prisnip estopel berlaku.
Putusan ICJ untuk solusi Hukum Internasional
Pada tanggal 27 Januari 2014, ICJ mengeluarkan putusan yang menengahi posisi kedua belah pihak negara. Putusan ini mencerminkan pendekatan kompromistis, dengan mempertimbangkan baik praktik historis maupun prisnip hukum internasional kontemporer.
Isi dari putusan ini berisi, Mahkamah menyatakan bahwa telah ada batas maritim de facto sejauh 80 mil laut dari pantai, mengikuti garis pararel lintang, sebagaimana diklaim oleh chili, namun selebihnya (dari dari 80 mil hingga 200 mil laut) tidak diatur dalam perjanjian yang mengikat secara hukum, sehingga Mahkamah menerapkan prinsip equidistance untuk wilayah tersebut, Mahkamah menetapkan 3 titik koordinat (A, B, Dan C) sebagai batas baru, dari A ke B mengikuti garis pararel sejauh 80 mil laut, Lalu dari B ke C garis mengikuti ekuidistan hingga mencapai 200 mil laut dari pantai peru.
Dampaknya dari putusan ini adalah Peru memperoleh sekitar 22.000 km wilayah laut baru yang sebelumnya dikontrol oleh Chili.
dan Chili mempertahankan haknya atas wilayah sejauh 80 mil laut dari pantai.