Mohon tunggu...
Faradila Putri Dewinta Azzahra
Faradila Putri Dewinta Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi dalam menulis karya ilmiah seperti essay dan karya tulis ilmiah serta fokus pada riset dan penelitian.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Otak Dikuasai Layar: Antara Dopamin, Algoritma, dan Kebebasan Manusia di Era Digital

15 Oktober 2025   09:30 Diperbarui: 15 Oktober 2025   09:30 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernahkah kamu merasa jantung berdebar hanya karena sebuah notifikasi muncul di layar? Atau merasa gelisah saat ponsel sepi terlalu lama?
Fenomena sederhana ini ternyata bukan sekadar kebiasaan zaman modern. Ia adalah hasil kerja rumit sistem saraf kita, otak yang kini bereaksi terhadap notifikasi seperti tubuh bereaksi terhadap gula, rokok, atau pujian.
Melalui perspektif neurosains, psikologi, dan filsafat teknologi, tulisan ini menelusuri bagaimana smartphone membentuk ulang cara kita berpikir, merasa, dan mengambil keputusan, bahkan tanpa kita sadari.

Riset neuroimaging dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa setiap kali kita menerima pesan atau "like", otak melepaskan dopamin, zat kimia yang menimbulkan rasa senang dan ingin mengulang pengalaman itu.
Sebaliknya, ketika pesan yang kita tunggu tak kunjung datang, tubuh memproduksi kortisol, hormon stres yang membuat kita cemas. Mekanisme ini menciptakan siklus emosional yang mirip dengan pola adiktif pada perilaku konsumtif lainnya.

Penelitian Horvath et al. (2020) dari University of Heidelberg bahkan menemukan bahwa penggunaan smartphone berlebihan berkorelasi dengan perubahan struktur dan aktivitas di area korteks prefrontal, bagian otak yang bertanggung jawab atas pengendalian diri dan fokus.
Sementara itu, studi Ward et al. (2017) menunjukkan bahwa kehadiran ponsel di dekat kita saja sudah menurunkan kapasitas berpikir dan konsentrasi, sebuah efek yang dikenal sebagai brain drain.

Dampak Sosial dan Psikologis

Smartphone kini bukan lagi sekadar alat komunikasi, ia telah menjadi mesin kimia mini di saku kita.
Setiap notifikasi, getaran, dan kilatan layar dirancang untuk memancing sistem dopamin agar kita terus terhubung. Perusahaan teknologi memanfaatkan mekanisme ini untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin, karena semakin lama kita bertahan di layar, semakin banyak data yang mereka dapatkan, dan semakin besar keuntungan yang diperoleh.

Dalam konteks sosial, ini melahirkan masyarakat hiper-responsif: kita mudah terpicu, cepat bereaksi, tapi sulit benar-benar hadir.
Fenomena ini menimbulkan efek domino, menurunnya kemampuan fokus, meningkatnya stres digital, dan berkurangnya kualitas interaksi manusiawi.

Dimensi Filosofis: Apakah Kita Masih Bebas?

Di sinilah muncul pertanyaan yang lebih dalam:
Apakah keputusan dan emosi kita benar-benar milik kita sendiri, atau sekadar hasil manipulasi kimia otak yang dipicu oleh sistem digital?

Selama berabad-abad, filsafat menempatkan manusia sebagai makhluk rasional dan bebas. Namun, jika perhatian dan dorongan kita kini diarahkan oleh algoritma yang paham cara kerja dopamin lebih baik daripada kita sendiri, apakah kebebasan itu masih utuh?
Apakah kita masih subjek yang mengendalikan teknologi, atau justru objek yang dikendalikan teknologi?

Langkah Reflektif dan Praktis

Menyadari realitas ini bukan berarti menolak teknologi, tetapi belajar hidup berdampingan secara sadar.
Beberapa langkah sederhana bisa membantu kita mengembalikan kendali:

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
    Lihat Filsafat Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun