Mohon tunggu...
faqih Muhammad
faqih Muhammad Mohon Tunggu... Graphic Desain

Halo, saya Faqih. Setelah 11 tahun di dunia industri otomotif, kini saya menekuni dunia tulis-menulis, desain digital, dan produk kreatif. Aktif di Quora, Instagram, dan beberapa platform menulis lainnya. Tertarik pada isu seputar kesehatan mental, budaya digital, dan perjalanan hidup manusia biasa. “Terbuka untuk kolaborasi advertorial & content partnership.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rabiah Al-adawiyah Dan Cinta Murni kepada Tuhan

13 Agustus 2025   07:15 Diperbarui: 13 Agustus 2025   07:15 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita mulai dari perkenalan singkat.
Rabiah Al-Adawiyah bukanlah perempuan biasa yang lahir di keluarga terpandang.
Ia lahir di Basrah, Irak, sekitar abad ke-8 Masehi, dalam kondisi serba kekurangan.
Sejak kecil ia sudah yatim piatu, hidup miskin, bahkan pernah dijual sebagai budak.

Membayangkannya saja sudah cukup membuat dada sesak.
Seorang perempuan muda, di zaman yang keras, berjalan sendirian menempuh hidup yang tidak ramah.
Namun di balik penderitaan itu, Rabiah menyimpan sesuatu yang istimewa:
cinta yang tulus dan tak tergoyahkan kepada Tuhannya.

Salah satu ucapannya yang paling terkenal berbunyi:

"Aku ingin membakar surga dengan obor dan memadamkan api neraka dengan air, agar orang tidak lagi menyembah Tuhan karena mengharap surga atau takut neraka."

Kalimat ini sederhana, tetapi maknanya dalam.
Rabiah ingin menunjukkan bahwa ibadah sejati bukanlah transaksi.
Bukan tentang berharap imbalan atau menghindari hukuman,
melainkan murni karena rasa syukur dan cinta.

Ia bersyukur atas hidup yang diberikan,
bersyukur atas ujian yang bagi orang lain mungkin terasa berat,
namun baginya, justru itu bentuk perhatian dan kasih dari Tuhan.

Dalam pandangan Rabiah, semakin berat ujian, semakin besar pula kasih sayang-Nya.

Kalau saya boleh jujur, saya pun pernah merasakan hal serupa.
Hidup saya mungkin terlihat menyedihkan di mata sebagian orang,
namun di tengah semua itu, saya justru menemukan orang-orang baru yang menambah warna hidup.
Pertemuan yang datang dari arah yang tidak pernah saya duga sebelumnya.

Dalam ibadah, saya tidak lagi memikirkan pahala atau takut dosa semata.
Yang saya rasakan adalah kebutuhan---
kebutuhan untuk berkomunikasi, untuk mendekat,
dan pada akhirnya... untuk pulang.

Semoga siapa pun yang membaca, bisa menemukan sepotong makna,
meski hanya sebaris.

Catatan: Tulisan ini sebelumnya pernah dipublikasikan di Quora oleh penulis, dengan versi berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun