Setiap hari, kita begitu akrab dengan kendaraan pribadi. Bahkan untuk jarak yang tergolong pendek, kita lebih memilih mengendarai motor atau mobil ketimbang berjalan kaki. Fenomena ini lumrah terjadi di banyak kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Namun, pernahkah kita bertanya, mengapa berjalan kaki di kota ini terasa melelahkan bahkan berbahaya? Salah satu jawabannya sederhana: trotoarnya tidak ramah bagi pejalan kaki.
Sebagai mahasiswa yang sering bepergian menggunakan transportasi umum, saya sering kali merasa frustasi ketika harus berjalan kaki dari kampus menuju halte. Seharusnya, trotoar menjadi ruang aman dan nyaman untuk berjalan kaki. Namun realitanya, yang terjadi justru sebaliknya.
Salah satu contoh yang saya alami sendiri ada di kawasan dekat SMA De Britto. Jalan itu cukup ramai karena berada di lingkungan sekolah, kampus, dan permukiman. Ironisnya, trotoar di sana justru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Trotoarnya dipenuhi pedagang kaki lima, bahkan terkadang kendaraan diparkir begitu saja di atasnya. Alhasil, pejalan kaki harus turun ke bahu jalan yang penuh kendaraan lalu-lalang. Setiap kali melewati jalan itu untuk menuju halte, saya harus ekstra hati-hati agar tidak terserempet motor. Rasanya seperti mempertaruhkan keselamatan hanya untuk berjalan kaki.
Kondisi serupa juga terjadi di beberapa ruas jalan sekitar Malioboro. Siapa yang tak kenal Malioboro? Kawasan ikonik ini menjadi kebanggaan warga Jogja sekaligus destinasi utama wisatawan. Tidak bisa dipungkiri, trotoar Malioboro memang dibuat bagus dan rapi. Tapi coba melangkah sedikit ke jalan-jalan di sekitarnya, suasana berubah drastis. Trotoar-trotoar di kawasan sekitar Malioboro banyak yang rusak, sempit, atau justru digunakan sebagai tempat parkir kendaraan. Lagi-lagi, pejalan kaki menjadi pihak yang harus mengalah.
Inilah potret Yogyakarta hari ini, kota yang belum sepenuhnya berpihak pada pejalan kaki. Kondisi trotoar yang tidak layak bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga soal keselamatan. Kita tentu tidak ingin mendengar kabar ada pejalan kaki yang celaka hanya karena harus berjalan di tepi jalan akibat trotoar yang tidak bisa digunakan.
Masalah ini sebenarnya bukan hal baru. Dalam salah satu video yang diunggah oleh kanal YouTube Project Amerta, disebutkan bahwa pembangunan trotoar di Jogja cenderung hanya difokuskan pada kawasan pariwisata, seperti Malioboro. Trotoar di Jogja masih sebatas untuk mendukung fungsi kawasan, bukan untuk memfasilitasi pergerakan masyarakat sehari-hari, apalagi sebagai bagian dari upaya membangun transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Padahal, fungsi utama trotoar adalah sebagai prasarana pergerakan pejalan kaki dalam aktivitas sehari-hari.
Saya merasakannya sendiri. Saat akan naik bus Trans Jogja dari halte terdekat, perjalanan dari kampus menuju halte sering kali terasa lebih sulit dibanding perjalanan menggunakan bus itu sendiri. Jalan kaki menuju halte seperti sebuah perjuangan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan transportasi umum tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada infrastruktur pendukung, terutama trotoar yang layak.
Konsep kota yang berpihak kepada pejalan kaki sebenarnya sudah lama digaungkan melalui istilah people oriented city, atau kota berorientasi pada manusia. Dalam konsep ini, infrastruktur kota dirancang dengan prioritas utama pada manusia sebagai subjek utamanya, bukan kendaraan bermotor. Jalan, trotoar, ruang terbuka hijau, dan fasilitas publik lainnya dibangun agar warganya bisa beraktivitas dengan nyaman, aman, dan sehat. Kota yang nyaman bagi pejalan kaki adalah kota yang mendukung warganya untuk beraktivitas secara mandiri tanpa selalu bergantung pada kendaraan pribadi.
Sayangnya, Yogyakarta masih jauh dari cita-cita sebagai people oriented city. Kita masih lebih sering melihat kebijakan pembangunan yang berpihak pada kendaraan bermotor ketimbang pejalan kaki. Padahal, membangun kota yang ramah pejalan kaki akan membawa banyak dampak positif, mulai dari mengurangi polusi udara, menekan kemacetan, hingga meningkatkan kualitas hidup warga.