Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Karena Menulis di Kompasiana Bisa Menjadi Proses Katarsis

6 Januari 2016   01:14 Diperbarui: 6 Januari 2016   01:34 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Ini cuma catatan pribadi. Ditayangkan di media, jadilah seperti surat terbuka (ikut istilah Om Michael Sendow di artikel teranyarnya). Saya menganggap ini surat terbuka bagi diri sendiri. Tidak ada yang benar-benar menarik, inspiratif, bermanfaat, apalagi aktual di sini. Hanya orat-oret digital sebagai prasasti personal.

Ini artikel ke-100 saya di Kompasiana. Bukan hal yang istimewa. Saya tidak menghitung, tapi cukup yakin ada ribuan Kompasianer yang telah pernah menulis artikel ke-100-nya di blog keroyokan ini. Tapi, bagi saya istimewa, karena saya kadang-kadang suka mengistimewakan angka 'cantik'.

Bermula dari mendaftar di Kompasiana pada tanggal 1.1.12. Saya tidak tahu apa yang ada di benak saya saat itu hingga memutuskan bergabung dengan situs citizen journalism ini. Mungkin saya sedang galau di awal tahun baru, atau mungkin sedang gatal mengomentari tulisan di Kompasiana. Yang pasti saya tidak mendaftar untuk tujuan menulis artikel, karena blog pertama saya baru ditayangkan pada 16.3.13. Saya menduga, gagasan artikel tersebut dimulai 13.3.13 (hehehe maksa) dan perlu 3 hari untuk menyelesaikannya. Akun saya dilabeli 'Terverifikasi (Hijau)' pada 1.4.14. Lagi-lagi 'angka cantik'. (Dan saya menunggu tanggal 6.1.16 untuk menayangkan tulisan saya ke seratus ini :-) )

Setahun lebih sejak menjadi Kompasianer di fajar pertama tahun 2012, saya hanya mampir untuk berkomentar di tulisan orang lain. Lama-lama malu, karena akun tuna tulisan sering dianggap akun tuyul. Tapi, mau menulis blog, tidak pede. Juga tidak ada ide. Sampai suatu hari muncullah ajang X Factor Indonesia di televisi. Kebetulan di rumah saya juga acara tersebut menjadi favorit, sehingga saya punya bahan untuk ditulis dan sedang 'hot'. Memberanikan diri menuliskan tentang persaingan antara dua peserta perlombaan menyanyi tersebut, saya kaget melihat jumlah klik untuk tulisan perdana saya di Kompasiana itu. Dalam beberapa jam, beberapa ratus pembaca hadir dan meski segelintir ada yang berkomentar, memberi penilaian dan menawarkan pertemanan. Saya merasa tersanjung.

Sepuluh artikel selanjutnya mengalir dari akun saya - semua tentang X Factor Indonesia, karena hanya itu isu hangat yang saya ikuti. Begitu musim pertama XFI berakhir, maka berakhir pula 'kreativitas' menulis saya. Untungnya, sekitar sebulan kemudian serombongan kerabat yang berjalan-jalan ke luar negeri berbagi cerita dan gambar dengan saya. Kisah perjalanan mereka saya tulisan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Tiga episode "jalan-jalan ala emak-emak ke luar negeri" terlahir.

Setelah itu mentok lagi. Tak tahu apa yang bisa ditulis. Vakum hampir tiga bulan, saya mulai menulis opini tentang  berita. Pertama kali saya menulis tentang ribut-ribut mobil murah (Low Cost Green Car), kemudian tentang kasus Lurah Jasmine yang ditolak oleh warganya. Lalu, saya ikut-ikutan menulis tentang Jokowi meskipun saya tak tergolong 'Jokowi lover' serta isu yang lagi ramai tentang kasus dokter Ayu yang diduga melakukan malpraktik padahal saya bukan ahli medis.

Melihat ke belakang, saya merasa seperti orang 'sok tahu' dengan menulis hal-hal yang sebenarnya bukan domain saya. Karena itu, saya menarik diri sejenak dari beropini dan menulis hal-hal yang sifatnya personal : tentang definisi bahagia, tentang pengalaman menemani putri saya berenang, dan tentang menyambut tahun baru 2014. Di akhir tahun ada perlombaan menulis blog di Kompasiana, dan saya ikut dengan menuliskan "Perlu Kecerdasan dan Etika untuk Berinteraksi dan Menyikapi Perbedaan Dunia Maya". Alhamdulilah, tulisan tersebut diganjar sebagai pemenang kedua dan hadiahnya pas untuk membeli hard disk eksternal 1 TB yang lama saya rindukan :-).

Setelah itu, saya mencoba menulis apa saja. Mulai dari kekesalan terhadap PLN yang menyiksa kota kami dengan pemadaman tak berkesudahan, tentang penyanyi yang sedang saya sukai lagunya (India Arie, Lorde) dan catatan perjalanan. Di luar dugaan, kisah mengunjungi butterfly farm di Penang diangkat menjadi headline oleh Admin Kompasiana. Ini adalah tulisan headline pertama saya, dan karena pada saat itu Kompasiana sedang error, saya menduga pemberian atribut HL tersebut juga tidak sengaja. Saya merasa tidak layak dan terbukti pembaca tulisan tersebut juga hanya sekitar 400 orang. Bukan jumlah yang membanggakan untuk tulisan berkelas HL.

Pemilu dan Pilpres 2014 menjadi berkah bagi saya dalam hal tulis menulis. Perhelatan akbar ini menjadi lahan inspirasi yang saya jadikan topik tulisan di Kompasiana. Belasan artikel seputar politik dan hukum terkait peristiwa tersebut saya tulis. Seusai pilpres, saya mengembara kembali ke topik-topik yang beragam, termasuk fiksi.

Menulis 100 artikel dalam tempo 4 tahun bergabung di Kompasiana bukanlah prestasi. Kadang-kadang saya minder melihat kawan-kawan Kompasianer yang sangat produktif menulis - bisa satu artikel sehari bahkan kadang lebih.
Mendapatkan pembaca 90 ribu-an untuk 100 artikel pun tidaklah istimewa. Beberapa kompasianer telah menulis ribuan artikel yang dibaca jutaan kali dengan  puluhan ribu klik per artikel. Dikomentari sekitar 800-an dan dengan nilai 700-an, headline cuma 3 dan pilihan (highlight) hanya 27, tentulah bukan angka yang istimewa dibandingkan prestasi para senior Kompasiana. Tapi, juga tidaklah mengecewakan mengingat kualitas tulisan saya memang masih jauh dari memuaskan - minimnya riset dan analisis, topik yang tak menarik publik serta malasnya saya melakukan proofreading sebelum menekan tombol 'Tayang' menjadi penyebab.

Ketika beberapa artikel yang saya tulis hanya dilirik oleh 2 digit pembaca, pernah saya meniatkan berhenti menulis blog dan kembali menjadi spesialis komentator - toh saya sudah bukan akun tuyul lagi. Namun, saya berketetapan untuk terus menulis di Kompasiana dengan cara sekarang ini. Tanpa target produktivitas - menulis di media sosial haruslah menjadi sarana relaksasi bukan untuk membuat stres. Tanpa spesialisasi genre atau topik tulisan - tak menjadi masalah kalau pun tak akan pernah terverifikasi biru. Tanpa target hl, HL, ter/ter/ter - kalau dapat, ya baik, kalau tak dapat, ya juga baik. Tanpa target jumlah pembaca atau jumlah nilai - dengan permohonan maaf kepada para pembaca dan penulis Kompasianer kalau sesekali tulisan saya yang tak bermutu mengambil tempat di halaman Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun