Mohon tunggu...
Fanny Yolan Tamba
Fanny Yolan Tamba Mohon Tunggu... Penulis Pemula

Saya berusaha menulis dengan berbagai topik yang kiranya dapat relevan dengan Anda

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Budaya Toxic Positivity: Mengapa Kita Dipaksa Selalu Bahagia

2 Agustus 2025   00:06 Diperbarui: 2 Agustus 2025   00:06 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah penulis dengan bantuan Canva

"Ambil sisi positifnya aja." Duh, pasti diantara kalian ada yang pernah denger ini ketika mengalami peristiwa mengecewakan. Sekali dua kali sih bakal kedengeran oke. Kalimat ini bisa menjadi penyemangat sekaligus dorongan kuat supaya kamu ga larut dalam kesedihan dan rasa kecewa atas kegagalan. Tapi pernahkah kamu muak denger kalimat-kalimat "penyemangat" ini? Yang jadi masalah adalah ketika dibales dengan "ah kamu ga ngerti aja rasanya jadi aku", ketakutan selanjutnya muncul. Kamu takut dianggap menjadi orang yang ga sabaran, emosional, dannn toksik. Padahal paksaan untuk kamu selalu bahagia juga merupakan toksik loh. Inilah yang dikenal dengan toxic positivity, sebuah fenomena ketika dorongan untuk berpikir positif justru menutupi atau mengabaikan kenyataan emosional seseorang.

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah bentuk pemaksaan terhadap diri sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan merasa positif, bahkan dalam situasi yang menyakitkan, sulit, atau menantang. Alih-alih mengakui perasaan negatif seperti sedih, marah, atau kecewa, budaya ini justru mendorong untuk menutupi emosi tersebut dengan ungkapan-ungkapan optimis yang tidak selalu relevan dengan kenyataan.

Misalnya, ketika seseorang kehilangan pekerjaan, alih-alih diberi ruang untuk berduka atau marah, ia justru langsung diberi nasihat, "Mungkin ini jalan menuju hal yang lebih baik." Padahal, pada saat itu, yang lebih dibutuhkan adalah empati, pendengaran, dan pengakuan atas rasa sakitnya, bukan afirmasi semu yang memaksanya segera "move on".

Pada tahun 2006, peneliti dari University of California San Diego dan Boston University melakukan studi terhadap 60 orang dengan gangguan suasana hati atau kecemasan. Separuh dari mereka diminta menekan emosi saat menonton film yang menyentuh, sementara sisanya diminta membiarkan perasaan mereka muncul secara alami. Hasilnya menunjukkan bahwa menekan emosi, seperti berpura-pura positif terus-menerus, justru membuat orang merasa lebih buruk, lebih sedikit merasakan hal-hal positif, dan kesejahteraannya menurun. 

Budaya ini berkembang pesat terutama sebagai dampak dari adanya media sosial. Kehidupan yang ditampilkan acap kali hanya sisi terang dan bahagianya saja, Unggahan tentang healing, self love, dan afirmasi positif seringkali digunakan untuk membungkam emosi negatif yang sah. Platform digital menjadi ruang pertunjukan kebahagiaan, seolah-olah kehidupan ideal adalah yang bebas dari kesedihan. 

Mengapa Ini Berbahaya?

Toxic positivity tidak hanya mengabaikan realitas emosional seseorang tetapi juga bisa mempernuruk kondisi mental dalam jangka panjang dengan penjelasan sebagai berikut.

1. Membohongi emosi yang sebenarnya. Ketika seseorang merasa harus selalu terlihat bahagia, ia cenderung menyembungikan atau menekan perasaanya sendiri. Hal ini dapat menyebabkan akumulasi stres dan ledakan emosi di kemudian hari.

2. Menghambat proses pemulihan. Emosi negatif seperti kesedian dan marah sebenarnya adalah bagian penting dari proses penyembuhan. Jika emosi ini ditolak, maka proses pemulihan tidak akan berjalan dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun