Mohon tunggu...
Disa Fanisa Putri
Disa Fanisa Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya

Saya suka membaca artikel tetapi lebih suka menulis artikel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Doa Tak Cukup di Reruntuhan Pesantren Al Khonizy

11 Oktober 2025   12:48 Diperbarui: 11 Oktober 2025   12:48 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tragedi ambruknya mushala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Senin (29/09/2025) sekitar pukul 15.00 WIB, menjadi duka mendalam bagi dunia pendidikan Indonesia. Di tengah lantunan doa, lantai dua bangunan yang sedang diperluas itu runtuh ketika para santri tengah melaksanakan salat Ashar. Tangisan orang tua menggema di halaman pesantren yang kini hanya menyisakan puing dan kenangan.

Menurut laporan Detik.com (1/10/2025), sedikitnya 67 santri meninggal dunia, sementara lebih dari seratus lainnya berhasil diselamatkan setelah operasi pencarian selama beberapa hari. Kepala Basarnas meminta area reruntuhan dikosongkan agar proses evakuasi lebih efektif, seperti diberitakan Antara News (30/9/2025). Namun hingga operasi berakhir, harapan banyak keluarga tetap pupus.

Fauzi, salah satu keluarga korban, mengungkapkan kepada Detik.com (1/10/2025) "Empat keponakan saya meninggal, dan yang lain masih luka-luka. Kami hanya ingin keadilan. Jangan ada yang ditutupi." Kutipan itu menggambarkan luka yang lebih dari sekadar kehilangan, tetapi juga kekecewaan terhadap lemahnya pengawasan dalam pembangunan fasilitas pendidikan berbasis keagamaan.

Hasil penyelidikan awal kepolisian menyebutkan bahwa proyek perluasan mushala dilakukan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) dan tanpa pengawasan teknis profesional (Detik.com, 3/10/2025).

Tragedi ini membuka kembali perbincangan tentang standar keselamatan bangunan di lembaga pendidikan, terutama pesantren yang banyak dibangun secara swadaya. Kemandirian pesantren memang patut dihargai, tetapi kemandirian tidak boleh mengorbankan keselamatan. Banyak gedung berasrama berdiri tanpa kajian struktur, apalagi audit keselamatan.

Menteri Agama Nasaruddin Umar, sebagaimana dikutip Kemenag.go.id (30/9/2025), meninjau langsung lokasi kejadian dan menyalurkan bantuan senilai Rp610 juta kepada korban. Ia menegaskan bahwa Kementerian Agama akan menindaklanjuti arahan Presiden untuk melakukan audit menyeluruh terhadap bangunan pesantren di Indonesia, khususnya yang tua atau tidak memiliki izin lengkap.

Langkah ini penting agar kejadian serupa tak terulang. Namun, lebih dari sekadar bantuan dana dan audit fisik, tragedi ini juga menyingkap masalah yang lebih dalam: rendahnya kesadaran akan keselamatan di lingkungan pendidikan keagamaan. Selama ini, pesantren sering dipandang cukup aman karena "dilindungi doa". Padahal, iman dan keselamatan seharusnya berjalan beriringan. Tidak cukup hanya berdoa di awal pembangunan, tapi juga memastikan setiap fondasi, dinding, dan atap memenuhi standar keamanan.

Dari sisi pemerintah daerah, pengawasan pembangunan pesantren seharusnya tidak dikesampingkan hanya karena statusnya lembaga keagamaan. Dinas terkait perlu aktif melakukan inspeksi dan memastikan proyek pendidikan berasrama mematuhi aturan teknis bangunan. Tragedi Al Khoziny memperlihatkan bahwa ketika satu pihak lalai, nyawa anak-anaklah yang menjadi taruhannya.

Para keluarga korban kini bukan hanya berduka, tetapi juga menanggung trauma dan kesedihan jangka panjang. Banyak santri selamat yang mengalami luka berat, bahkan ada yang harus menjalani amputasi, seperti dilaporkan Health.Detik.com (2/10/2025). Mereka membutuhkan pendampingan psikologis dan bantuan pemulihan, bukan sekadar belasungkawa sementara.

Kita semua perlu menjadikan peristiwa ini sebagai refleksi bersama. Pendidikan bukan hanya soal menanamkan ilmu dan iman, tetapi juga memastikan lingkungan belajar aman secara fisik. Keselamatan adalah bagian dari nilai moral yang seharusnya diajarkan di setiap pesantren.

Di tengah doa dan air mata para orang tua korban, terselip pesan moral bagi kita semua: jangan biarkan tragedi ini menjadi berita sesaat yang terlupakan. Pesantren Al Khoziny telah kehilangan puluhan putra terbaiknya, semoga dari puing-puing ini tumbuh kesadaran baru bahwa tanggung jawab moral tidak berhenti di ruang kelas, tetapi juga di setiap batu dan fondasi tempat anak-anak belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun