Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mahasiswa Masih Bergerak, tapi Tidak Bersama Rakyat

17 Juli 2019   21:25 Diperbarui: 17 Juli 2019   22:48 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

*Tulisan ini sebagai respon saya terhadap aksi yang dilakukan oleh gabungan BEM UIN Jakarta, UHAMKA, UMJ, ITB-AD, Trisakti dan STEBANK di depan istana negara pada hari Selasa, 16 Juli 2019.

Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa pada tanggal 16 Juli 2019 di depan istana negara ini bertemakan Aksi Berdarah ( Bergerak Dari Hati) yang mengangkat isu hutang negara, bagi-bagi jabatan dan kasus HAM yang tak kunjung selesai. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai "mahasiswa oposisi" sebagai jawaban atas rekonsiliasi politik pasca pemilu 2019. Pertanyaannya adalah, apakah aksi yang mereka lakukan efektif? Akankah aksi mereka membawa perubahan?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, haruslah terlebih dahulu kita mencari tahu dasar dari pergerakan ini, apakah dari suara rakyat, yang sebagaimana diutarakan oleh oleh presiden mahasiswa UIN Jakarta bahwa tugas mahasiswa adalah menjembatani suara rakyat, atau hanya dari opini pribadi/kelompok? 

Jika melihat dari massa yang mengikuti aksi, yang mana hanya diikuti oleh mahasiswa, jelas aksi ini tidak berlandaskan pada suara rakyat. Menurut Tan Malaka, aksi yang dilakukan atas kemauan sendiri dan tidak memedulikan perasaan dan kesanggupan massa akan menyebabkan rakyat enggan ikut dalam aksi tersebut.

Lantas, akankah aksi ini akan membawa perubahan? Jika melihat jumlah massa yang tidak seberapa dibanding total seluruh rakyat Indonesia, tampaknya ini hanya aksi yang sia-sia. Tanpa adanya dukungan dari rakyat, apa yang bisa dilakukan oleh segerombolan kecil ini?

Hal ini menunjukan bahwa mahasiswa hanya "kebelet" kritis tapi tidak merakyat. Mahasiswa masih merasa "tinggi" hingga enggan turun merakyat dengan mereka yang tertindas. 

Bergerak atas nama rakyat tanpa persetujuan dari rakyat itu sendiri. Melakukan demonstrasi hanya karena mahasiswa identik dengan aksi, bukan karena dorongan rakyat. Sejuta kali turun aksi tapi sudah berapa kali turun merakyat?

Mahasiswa, yang memiliki ilmu tingkat tinggi, harusnya bisa menyadarkan rakyat yang tertindas dan mendorong mereka melawan penindasan, bukan malah berlagak sok pahlawan yang membela rakyat tertindas. 

Rakyat tidak sadar mereka sedang tertindas karena mereka tidak memiliki ilmu yang cukup untuk menyadari bahwa mereka tertindas, sedangkan mahasiswa memiliki ilmu yang cukup untuk menyadari bahwa rakyat sedang ditindas. 

Dari sini harusnya mahasiswa menyadarkan rakyat dan bergerak bersama rakyat, bukan membela rakyat. Untuk apa membela orang yang tidak minta dibela?

"Aksi-massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka" -Tan Malaka-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun