Dunia sedang memasuki fase di mana permintaan energi dari AI bukan sekadar isu teknologi, melainkan krisis energi-keberlanjutan global
Transformasi besar-besar penggunaan kecerdasan buatan (AI) membawa beban luar biasa terhadap sistem energi global.Â
Seiring adopsi model besar dan pusat data skala masif, permintaan daya listrik meningkat drastis---diperkirakan tambahan daya puluhan gigawatt (GW) dibutuhkan untuk mendukung ekspansi AI pasca-ChatGPT.Â
Sementara itu, di Amerika Serikat terjadi bottleneck pasokan daya dan keterbatasan infrastruktur yang bisa menghambat pertumbuhan komputasi AI.Â
Di sisi lain, negara seperti China dengan surplus energi terbarukan dan skala investasi besar menunjukkan keunggulan cost-computing yang menjanjikan untuk AI.Â
Tulisan ini mengkaji dinamika konsumsi energi AI, hambatan infrastruktur, perbandingan AS dan China, serta strategi keberlanjutan untuk masa depan.
Pendahuluan
Dalam dekade terakhir, penggunaan AI, khususnya model bahasa besar (LLM) dan infrastruktur pusat data, meningkat sangat cepat.
Setiap GW kapasitas komputasi AI menciptakan kebutuhan infrastruktur daya, pendinginan, dan konektivitas yang sangat besar.
AS menghadapi kendala: jaringan listrik yang padat, izin pembangunan pembangkit/penyaluran daya baru yang lambat, dan biaya listrik yang relatif tinggi.
China, melalui kombinasi investasi negara, kebijakan energi terbarukan yang agresif, dan skala ekonomi besar, berhasil menurunkan biaya operasional komputasi sehingga menjadi pemain utama dalam ekosistem AI global.