Kucing liar yang berubah menjadi penuh empati adalah cermin bagi manusia: bahkan makhluk instingtif bisa jinak karena kasih sayang
Saya baru saja mengadopsi bayi kucing yang induknya kritis karena rahangnya patah akibat ditabrak orang tak bertanggungjawab.
Kekhawatiran pertama yang timbul adalah sikap kucing penghuni lama di rumah, yaitu BotBot, yang sikapnya sangat agresif dan suka menyerang terhadap makhluk asing, baik orang ataupun hewan.
Kejutan manis terjadi. Meskipun ia kucing jantan, namun perilakunya bak induk pengganti bagi Si Onyen. Menjilat dan memeluknya saat tidur menjadi kebiasaan baru BotBot.
Fenomena perubahan seekor kucing liar (contoh kasus: BotBot) yang awalnya agresif lalu menjadi penuh kasih sayang setelah dipelihara manusia, menunjukkan bahwa empati dapat dipelajari.Â
Jika hewan yang mengandalkan insting bisa berubah melalui sentuhan kasih, mengapa manusia---makhluk berakal budi---justru masih mempertahankan kebiadaban terhadap sesamanya?Â
Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan menelaah faktor biologis, psikologis, dan sosiologis, serta menyinggung bagaimana "pengasuhan" sejak dini membentuk arah moral manusia.
Pendahuluan
Kasih sayang terbukti bersifat transformatif. Pada kucing liar, kasih sayang mengikis perilaku defensif dan agresif.Â
Namun, pada manusia, kita menyaksikan paradoks: meski dibekali akal dan moral, masih banyak yang berperilaku biadab---menyakiti, memperbudak, atau bahkan membunuh sesamanya.Â
Pertanyaan mendasar:Â jika seekor kucing liar bisa belajar empati, mengapa manusia yang seharusnya lebih tinggi derajatnya malah bisa lebih rendah dari binatang?