Keterlambatan Donald Trump dalam mengecam genosida Gaza, yang baru muncul setelah gereja Kristen dibom, menunjukkan bias agama yang sistemik dalam geopolitik global
Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah menelan puluhan ribu korban jiwa, dengan dominasi korban berasal dari komunitas Muslim Palestina.Â
Namun, respons dari pemimpin-pemimpin global, termasuk Donald Trump, menunjukkan pola reaksi yang selektif.Â
Tulisan ini menelaah secara kritis keterlambatan Donald Trump dalam mengecam kekerasan di Gaza, dan bagaimana kecamannya baru muncul setelah pemboman terhadap gereja Kristen Ortodoks di Gaza.Â
Pendekatan ini menunjukkan adanya bias agama yang sistemik, yang memperlambat solidaritas global terhadap korban Muslim dan mempercepat reaksi saat korban berasal dari komunitas Kristen.Â
Studi ini memanfaatkan teori-teori pascakolonial, islamofobia, dan politik identitas dalam menganalisis dinamika tersebut.
Pendahuluan
Sejak serangan besar-besaran Israel ke Gaza pasca Oktober 2023, lebih dari 58.000 warga Palestina terbunuh, termasuk perempuan dan anak-anak.Â
Ratusan masjid hancur, rumah sakit dibom, dan wilayah Gaza nyaris luluh lantak. Namun, perhatian besar dari tokoh konservatif Amerika seperti Donald Trump baru mencuat saat gereja Ortodoks Saint Porphyrius hancur pada Juli 2025.
Pertanyaan yang muncul:
Apakah krisis ini hanya menjadi penting jika menyentuh simbol-simbol Kristen?