Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sembako Kena PPN, Wong Cilik Kian Tercekik

10 Juni 2021   13:18 Diperbarui: 10 Juni 2021   13:26 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi masyarakat antri sembako (pic: harnas.co)

Dengan alasan kinerja perpajakan Indonesia di lingkup global dan Asean masih rendah maka digodoklah wacana perluasan basis pajak sembako dan kenaikan PPN demi menggenjot pendapatan negara

Pemerintah tengah menggodok wacana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako, itu berarti para ibu rumah tangga siap-siap memasang ikat pinggang kuat-kuat agar kebutuhan tiap bulan tercukupi.

Dikutip dari kompas.com (10/6/2021) Wacana tersebut tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Kenaikan PPN karena kinerja perpajakan Indonesia rendah

Dengan alasan bahwa PPN di Indonesia terlalu rendah bila dibandingkan dengan negara lain, maka pemerintah melalui Menteri Keuangan melirik sektor sembako sebagai sarana ampuh untuk menambah pendapatan negara.

Staf khusus menteri keuangan Yustinus sebagaimana dikutip dari kompas.com (9/6/2021) menyebut alasan perluasan basis serta kenaikan PPN karena kinerja perpajakan Indonesia di lingkup Asean masih lebih rendah dibandingkan Thailand dan Singapura, sedangkan di lingkup global, lebih rendah dari Afrika Selatan dan Argentina.

Beberapa negara melakukan penataan ulang sistem PPN melalui perluasan basis pajak serta penyesuaian tarif untuk membiayai penanganan pandemi, dengan rata-rata tarif PPN di 127 negara adalah 15,4 persen, di Indonesia hanya 10 persen.

Sebagian besar masyarakat mengeluh terhadap wacana ini, mereka menganggap pemerintah mengatasi masalah dengan mencari masalah. Hutang negara kian membengkak, namun penyelesaian yang dilakukan justru melalui jalan pintas memajaki jatah makan rakyat kecil.

Daftar sembako kena PPN memicu protes

Sembako yang akan dikenakan PPN adalah beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Semula, barang-barang itu sebagaimana dikutip dari kompas.com (9/6/2021) dikecualikan dalam PPN yang diatur dalam aturan turunan, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017, sedangkan dalam draft RUU pasal 4A, sembako dihapus dalam kelompok barang yang tak dikenai PPN.

Hal ini memicu gejolak protes di masyarakat karena sembako seperti beras, telur, gula, garam dan sebagainya, bersentuhan langsung dengan kebutuhan vital wong cilik sebagai pengganjal perut sehari-hari.

Seperti Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) yang memprotes karena mengalami kondisi sulit, sebab 50 persen lebih omzet dagang menurun, sementara pemerintah dinilai belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan dalam beberapa bulan terakhir.

Masyarakat menganggap pajak kian ganas ke bawah hingga membebani rakyat kecil, namun justru melonggarkan kaum borjuis dengan adanya pengampunan pajak alias tax amnesty.

Komisi IX DPR: reformasi perpajakan daripada menaikkan PPN

Selain sembako, pemerintah juga akan mengenakan tarif PPN pada sekolah atau jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Masyarakat menyoroti bahwa selama sekian waktu Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan, pajak terasa kian mencekik, tetutama bagi kaum buruh dan karyawan kecil, sebab jenis penghasilan apapun yang mereka terima, tidak pernah lepas dari pajak, pajak, dan pajak.

Pajak penghasilan dan pajak berganda bagi konglomerat mungkin tak berarti apa-apa, namun bagi karyawan cilik, setiap jumlah rupiah adalah hasil perasan keringat dan banting tulang yang sangat berarti bagi mereka.

Hingga anggota Komisi XI DPR Misbakhun menyarankan agar Kementerian Keuangan lebih baik melakukan reformasi perpajakan dengan cara memantapkan sistem pemungutan berbasis teknologi daripada menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen, sebab masyarakat tidak hanya terbebani oleh PPN maupun Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM), tetapi juga mendapatkan masalah administratif dalam praktiknya di lapangan, yang kemudian malah menjadi beban bagi wajib pajak.

Dan kini jika ditambah dengan akan adanya PPN terhadap sembako, tampaknya bukan hanya karyawan cilik sebagai kepala keluarga yang menanggung beban, tapi istrinya pun akan kembali berputar kepalanya demi mencukupkan rupiah agar kebutuhan makan sehari-hari tercukupi.

Di tengah carut marut ekonomi yang terpukul akibat pandemi, masih layakkah pemikiran memajaki hajat hidup orang banyak? Meskipun ada wacana PPN multi tarif, dengan meminimalkan pajak untuk barang kebutuhan wong cilik, dan memaksimalkan pajak atas barang mewah orang kaya, toh ujung-ujungnya wong cilik tetap tidak bebas dari pengenaan pajak.

Terbaca jelas wong cilik tidak hanya ingin pandemi berakhir, tapi juga berharap agar penghasilan mereka tidak dipajaki hingga kolor penghabisan, belum lagi jika kebutuhan sehari-hari dipajaki, mereka merasa kian modar. 

Mungkinkah harapan wong cilik akan terpenuhi jika di sisi lain pemerintah juga ingin mencari pemasukan untuk pendapatan negara sebab utang kian membengkak? Sama-sama memiliki keinginan dan harapan, mungkinkah ada jalan tengah agar wong cilik tidak makin terhimpit di tengah pandemi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun