Mohon tunggu...
Falantino Eryk Latupapua
Falantino Eryk Latupapua Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

...menempuh jalan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perayaan Natal, Menara Eiffel, dan Kita: Anomali-anomali

18 Desember 2023   17:14 Diperbarui: 18 Desember 2023   18:47 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

kemacetan, polusi, dan erosi .

Apa artinya tumpukan kekuasaan bila hidupmu penuh curiga dan takut diburu dendam. Apa artinya tumpukan kekayaan bila bila bau busuk kemiskinan menerobos jendela kamar tidurmu . Isolasi hanya melahirkan kesendirian tanpa keheningan .

Luka orang lain adalah lukamu juga!

...................

Tampaknya, Natal memang sudah menjadi memori kosmopolitan, apa yang disebut oleh Levy dan Sznaider sebagai memori transnasional yang mencerminkan bagaimana masyarakat mengingat apa yang harus dibangun sebagai masa depan bersama. Jika perayaan Natal adalah masa depan itu, maka memori kolektif kosmopolitan kita adalah menjadikan Natal sebagai wacana yang ambivalen. Sederhana, khidmat, syahdu di gereja melalui lagu-lagu dan cerita gembala, pada saat yang bersamaan, hedonis oleh pesta-pora yang menghasilkan orang-orang yang terhuyung-huyung dikuasai alkohol, dibingkai sebagai perayaan sukacita dan syukur. Suara-suara yang terdengar dari posisi ambivalensi ini menjadi kompleks dan tidak jelas. Seseorang bisa berkhotbah tentang gembala yang sederhana namun di waktu lain lain turut terlibat menggelapkan dana jemaat. Seseorang lain bicara tentang cinta kasih dan keprihatinan terhadap situasi dunia tetapi pada  kesempatan lain melanggar apa yang diartikulasikan sendiri.

Mungkin tidak ada yang salah dengan ini semua. Beberapa orang menyebutnya sebagai konsekuensi yang wajar karena dunia yang makin kapitalistik. Kapitalisme adalah hantu yang sulit dilawan dengan cara terang-terangan, baik dengan kapital itu sendiri maupun dengan isu-isu moral yang romantik. Bagi saya, apa yang saya sebut anomali dalam konteks tulisan ini adalah preseden negatif pada situasi mental masyarakat yang tidak menyadari adanya operasi dan relasi kekuasaan yang membunuh nalar dan menyempitkan cara pandang. Alangkah berbahayanya jika mayoritas orang menganggap bahwa apa saja bisa ditiru, artikulasi bisa bergaung lalu kemudian dimentahkan sendiri, dan semuanya wajar dan biasa saja. Lebih lagi, alangkah banalnya jika oleh karena itu semua muncul sikap nyinyir dan stigma terhadap mereka yang merayakan dengan cara biasa, tidak dengan gemerlap, sebagai liyan yang marginal, tidak keren, sunyi, dan kampungan.

Bagaimanapun juga, di tengah dunia yang semakin nirbatas, setiap orang merasa memiliki kemutlakan dalam memilih cara untuk merayakan sesuatu. Dunia kita memang penuh dengan, dan dikonstruksi oleh, simbol-simbol. Masyarakat harus menjadi modern dengan tanpa kecuali. Apapun bisa menjadi media, menjadi wacana. Akan tetapi, penting bagi kita untuk memelihara otentisitas dan membangun kesadaran kritis, tidak untuk melawan semua yang telah lama dihayati secara komunal dalam bingkai keindahan dan persaudaraan yang universal, tetapi untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara kewarasan. Bagaimanapun juga, institusi moral seperti gereja dan pemerintah tetap harus memelihara muruahnya sebagai penjaga keseimbangan, sebagaimana yang selama ini digaungkan, bukan mendestruksi dan membalikkan operasinya dalam bingkai-bingkai pragmatis. Kemurnian yang dibingkai dalam pragmatisme pada ujungnya akan melanggengkan inotentisitas, memelihara kepalsuan, serta memupuk sikap, yang disebut oleh Koentjaraningrat sebagai suka menerabas, sebagaimana yang ditunjukkan melalui dibangunnya miniatur menara di rumah dinas wali kota. Apa hubungannya Natal, Menara Eiffel, dan kita? 

*Catatan: Tulisan ini pernah dimuat dalam MalukuPost, 18 Desember 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun