Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Perjalanan Dokter Indonesia, dari Pengobatan ke Pergerakan

24 Oktober 2020   09:15 Diperbarui: 28 Maret 2022   11:26 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vaksinasi di Jawa oleh dokter-djawa, circa 1910 | dok. KITLV

Tepat hari ini, 24 Oktober, Indonesia memperingati Hari Dokter Nasional yang rutin diperingati setiap tahunnya. Peringatan ini didasari atas pendirian perkumpulan dokter Indonesia, 70 tahun yang lalu, pada 24 Oktober 1950 dengan nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 

Pendirian IDI menjadi tanda semangat dokter dari seluruh Indonesia untuk meningkatkan harkat, martabat, dan kehormatan profesi kedokteran; mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran; serta meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia untuk menuju masyarakat sehat dan sejahtera.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, peringatan hari dokter nasional tahun ini berada dalam kemelut pandemi COVID-19 yang kian merajalela. Hadirnya pandemi COVID-19 kembali mempertegas kedudukan profesi dokter dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia, bahkan seluruh dunia-dalam penanganan pandemi. 

Para dokter dan tenaga kesehatan menjadi pilar utama, garda terdepan, dan benteng terakhir dalam penanganan pandemi kali ini. Mereka, bersama pemerintah dan masyarakat, bersatu dalam menyehatkan bangsa sebagai upaya penanganan pandemi. 

Perjuangannya di tengah besarnya arus ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap keberadaan COVID-19 harus diapresiasi karena hanya merekalah yang mampu menangani dan menyehatkan bangsa di garis terdepan dengan sabar dan tanpa pernah mengenal lelah.

Dedikasi para dokter dan tenaga kesehatan tersebut mengingatkan saya pada peran mereka dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya pada medio 1900-an. Seperti yang kita ketahui, pada kurun waktu tersebut, timbul berbagai dinamika pergerakan kebangsaan di Hindia Belanda yang ditandai dengan hadirnya berbagai organisasi pergerakan. 

Organisasi-organisasi tersebut muncul seiring hadirnya kaum intelektual muda sebagai akibat dari pencerahan gaya barat yang dapat mengilhami penduduk bumiputra lainnya untuk bergerak bersama menuju kehidupan yang lebih baik. 

Dengan kata lain, kaum intelektual muda saat itu menjadi poros pergerakan kebangsaan yang dipandang sejarawan Indonesia masa kini berdampak pada runtuhnya dominasi kolonial. Namun, apabila kita melihat nama-nama tokoh intelektual masa pergerakan nasional, terdapat suatu hal yang menarik bahwa tidak sedikit dari mereka yang berprofesi sebagai seorang dokter. 

Seorang Indonesianis ternama yang memimpin Cornell Modern Indonesia Project, George Mc Turnan Kahin, dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1958), turut menyatakan bahwa sejumlah besar tokoh nasionalis Indonesia adalah dokter.

Pernyataan di atas memang memang dapat dibuktikan dengan melihat nama-nama tokoh nasionalis dan tidak sedikit dari mereka yang lahir dari rahim pendidikan dokter profesional di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen [Sekolah Kejuruan Dokter Hindia], sebelumnya disebut Sekolah Dokter-Djawa) atau NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School [Sekolah Kejuruan Dokter Hindia]), seperti dr. Abdul Rivai (lahir 1871; anggota Volksraad [Dewan Rakyat Hindia Belanda], 1918), dr. Wahidin Soedirohoesodo (lahir 1856; tokoh Boedi Oetomo, 1908), dr. Tjipto Mangoenkoesomo (lahir 1886; penggagas Indische Partij [Partai Hindia], 1912), dan lain sebagainya.

Nama-nama tersebut berjuang bersama tokoh lainnya dalam melahirkan pemerintahan republik bernama Indonesia sejak dekade 1900 hingga pascakolonial. Namun demikian, pergerakan dokter bumiputra tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa kebanyakan dokter berperan dalam pergerakan kebangsaan? Mengapa para dokter mau bergerak ke ranah politis? Atau apa yang memantik mereka untuk bergerak ke ranah politis?

Saya memulai mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menguraikan kehidupan mereka di STOVIA dan NIAS. Menurut sejarawan Hans Pols, dalam buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019), sekolah kedokteran menjadi 'laboratorium' transformasi masyarakat bumiputra dari budaya tradisional ke modernitas gaya barat. 

Apabila sebelumnya mereka masih lekat dengan budaya lokal yang dianutnya, setelah menempuh pendidikan di sekolah kedokteran tersebut mereka bergerak dari lingkup tradisional ke arah modernitas barat. Mereka menganggap pemikiran akan modernitas barat dapat membawa dirinya dan masyarakat bumiputra secara keseluruhan ke arah kemajuan dan kebanggaan budaya.

STOVIA dan NIAS sebagai sekolah gaya barat tentu saja membawa nilai-nilai modernitas barat di dalam pembelajarannya yang jelas memengaruhi pemikiran para pelajar. 

Modernitas barat tersebut berada dalam suasana pembelajaran terkait pengetahuan dan keterampilan kedokteran serta pembelajaran mengenai berbagai masalah kehidupan, seperti masalah sosial, politik, budaya, dan spiritual berdampak terhadap perubahan pemikiran pelajar. 

Mereka menjadi lebih peka terhadap berbagai masalah serta menjadi lebih progresif dalam hal sikap temperamen, orientasi kognitif, gaya emosional, dan perilaku.

Dalam penelitian lainnya, rupanya bukan hanya faktor internal STOVIA saja yang membuat ia dikatakan sebagai 'laboratorium' transformasi. Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918 (1989), mengatakan bahwa faktor lingkungan sekitar STOVIA turut menentukan munculnya intelektual muda. 

STOVIA yang berada pusat kota, di Weltevreden (sekarang kawasan Jalan Medan Merdeka), membuat sekolah tersebut ramai dengan hiruk pikuk kehidupan masyarakat perkotaan yang penuh dengan orang pendatang dari luar Batavia. Akibatnya timbul interaksi dengan berbagai pendatang, sehingga membuat para pelajar saling bertukar gagasan mengenai banyak hal.

Hal tersebut bisa dilihat pada kehidupan dr. Abdul Rivai (1871---1937) yang merupakan lulusan pertama sekolah kedokteran, STOVIA, di Batavia. Rivai yang berasal dari Minangkabau dengan budaya tradisional yang kental dan melekat pada dirinya memandang STOVIA sebagai batu loncatan untuk menjadi modern. 

Menjadi siswa STOVIA mengubah dirinya menjadi ambisius, sangat berpikir modern dan meyakini bahwa kekuatan pengetahuan akan membawa Hindia Belanda ke arah kesejahteraan yang lebik baik.

Selain itu, kisah kehidupan pelajar STOVIA yang berubah menjadi 'modern' dapat dilihat pada kisah Soewardi Soerjaningrat (1889---1959) sebagaimana dipaparkan oleh Savitri Prastiti Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Nasionalis Jawa Awal Abad XX (1985). 

Meskipun Soewardi tidak berprofesi sebagai dokter, dalam catatan sejarah, dirinya pernah tercatat sebagai siswa di STOVIA. Menurut Scherer, pengalaman Soewardi di STOVIA membuat dirinya mendapatkan pengalaman yang luar biasa dan sangat unik. 

Selama menempuh beberapa waktu di sekolah kedokteran tersebut, ia mendapat pengalaman hidup yang berbeda dari biasanya. Ia berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai kalangan dengan latar belakang budaya, sosial, dan lingkungan yang berbeda. Bukan hanya itu, ia juga berinteraksi dengan orang-orang Jawa yang sudah bertranformasi dari tradisi kebudayaan istana ke tradisi perkotaan. 

Atas berbagai interaksi tersebut, seiring berjalannya waktu, rupanya hal ini turut menambah pemikiran Soewardi dalam membela masyarakat Hindia Belanda.

Atas dasar modernitas yang mereka miliki, para dokter bumiputra berperan dalam poros pergerakan kebangsaan. Mereka mendirikan berbagai organisasi di Hindia Belanda dan berperan penting sebagai pimpinan organisasi. 

Pada kondisi ini, mereka sering melontarkan kritik kepada pemerintah negeri induk dan negeri koloni serta sering menyampaikan gagasannya untuk kemajuan bumiputra di Hindia Belanda. 

Melalui berbagai media, seperti surat kabar Pawarta Wolanda dan Bintang Hindia, jurnal Retnodoemillah, berbagai organisasi (Jong Java, Boedi Oetomo, Jong Sumatera, Tri Koro Dharmo), hingga parlemen Volksraad, mereka dengan lantang bersuara untuk kemajuan masyarakat bumiputra di Hindia Belanda. 

Satu hal yang menarik dalam suara lantang para dokter adalah ketika dr. Tjipto, dr. Abdul Rivai, dan dr. Radjiman duduk di kursi parlemen, Volksraad, pada awal 1918. Ketiga dokter bumiputra tersebut menyuarakan dengan lantang berbagai permasalahan sosial yang menimpa masyarakat bumiputra, seperti kurangnya akses pendidikan, medis, dan kemiskinan yang semakin parah. 

Salah satu yang menjadi pembahasan dokter anggota parlemen tersebut ialah ketika Hindia Belanda 'diserang' Flu Spanyol. Dalam kondisi yang mencekam, pemerintah Hindia Belanda menjadi sasaran kritikan oleh dokter anggota parlemen, dr. Abdul Rivai, karena dianggap abai dalam penanganan pandemi Flu Spanyol. 

Menurut sejarawan Ravando dalam monograf terbarunya Perang Melawan Flu Spanyol: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Wilayah Kolonial 1918-1919 (2020), Rivai menjadi sosok yang berperan dalam membawa perkara permasalahan penanganan pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda pada setiap sidang Volksraad. 

Alasannya karena Rivai melihat banyak dari 'kaumnya' (red: masyarakat bumiputra) yang menjadi korban atas 'kegagalan' pemerintah Hindia Belanda dalam penanganan pandemi Flu Spanyol

Dengan modal modernisasi barat yang dimiliki, mereka memulai langkah baru untuk menata kehidupan mereka dan masyarakat Hindia Belanda ke arah yang lebih baik dengan semangat ilmu pengetahuan barat. Awalnya mereka berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bumiputra dalam koridor medis yang mereka kuasai. 

Misalkan, dengan membuka praktek di berbagai daerah atau dengan terjun langsung mengobati masyarakat yang terkena wabah penyakit, seperti cacar, pes atau kolera. 

Meski begitu, kenyataan yang mereka impikan untuk memajukan Hindia Belanda tidaklah begitu mudah. Pada satu sisi, para dokter bumiputra berkeinginan berada sejajar dengan masyarakat Eropa karena dirinya telah mendapat modernitas barat. Namun demikian, menjadi 'Eropa' pada masa itu adalah hal yang sangat sulit atau bahkan tidak mungkin terjadi. 

Mereka terbelenggu segregasi etnis yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda bahwa kedudukan bumiputra dibawah orang Belanda. 

Belenggu tersebut, salah satunya, terjadi ketika mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka digaji lebih rendah dibanding dokter Eropa oleh pemerintah Hindia Belanda. Atas kenyataan inilah mereka terus bergerak untuk memikirkan kemajuan Hindia Belanda dalam hal keadilan bagi masyarakat bumiputra. 

Melalui pergerakannya di organisasi dan parlemen serta gagasan-gagasan yang tersebar di berbagai media, mereka melahirkan keputusan-keputusan politik yang berpengaruh di Hindia Belanda. 

Lahirnya keputusan politik menandai bahwa mereka tidak hanya memikirkan pengobatan atau ranah medis saja, melainkan sudah bergerak aktif ke ranah pergerakan politik untuk menentukan masa depan suatu bangsa. 

Mereka telah berupaya untuk mengobati bangsa atas dua penyakit yang menjangkiti Hindia Belansa, yakni penyakit dalam arti kesehatan dan "penyakit" dalam arti politis. Dalam arti medis, mereka telah berusaha membebaskan masyarakat dari jeratan penyakit secara medis. Sedangkan dalam arti politis, mereka telah berupaya membebaskan masyarakat dari "penyakit" ketidakadilan yang membelenggu masyarakat bumiputra. 

Dengan kata lain, para dokter bumiputra telah menjadi salah satu aktor dalam melahirkan pemerintahan republik bernama Indonesia.

Daftar Pustaka

  • Nagazumi, Akira. (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Pols, Hans. (2019). Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia. Jakarta:  Penerbit Kompas.
  • Ravando. (2020), Perang Melawan Flu Spanyol: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Wilayah Kolonial 1918-1919. Jakarta: Penerbit Kompas.
  • Ricklefs, M.C. (2006). Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jogyakarta: UGM Press
  • Scherer, Savitri Prastiti. (1985). Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan
  • Vlekke, Bernard. (2016). Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.

Penulis
Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa program studi pendidikan sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Tulisannya berfokus pada kajian sejarah kesehatan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun