Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhaji di Masa Pandemi

31 Juli 2020   12:44 Diperbarui: 24 April 2022   23:12 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Pernyataan ini dengan jelas memberi penekanan terhadap tubuh para Jemaah haji yang dianggap sebagai pembawa wabah”, tulis Gani

Antisipasi Penyebaran Wabah di Tanah Suci

Arus manusia menuju Mekkah terus meningkat. Di sisi lain, ancaman wabah penyakit belum menghilang di Tanah Suci. Pada posisi inilah pemerintah memainkan peranan penting dalam penanganan penyakit.

Menurut Gani Ahmad Jaelani, perdebatan persoalan karantina untuk para Jemaah haji pernah dibahas dalam Congrès international de Médecins des Colonies (Kongres Internasional Dokter-dokter tanah jajahan) pada tahun 1883 di Amsterdam. 

Dalam kongres tersebut, Konsulat-Jenderal Belanda di Hijaz, J.A Kruijt, mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban pemerintah negeri yang beradab, di bawah bimbingan ilmu pengetahuan yang berhasrat menyelamatkan dari serangan wabah penyakit menular. Pernyataan Kruijt tersebut didasari atas kota tempat tinggalnya, Hijaz, menjadi sumber penyakit karena kedatangan orang dalam jumlah besar.

Pendirian tempat karantina di beberapa lokasi sekitar Laut Merah dan Tanah Suci menjadi langkah pencegahan penyebaran penyakit. Salah satu tempat karantina para Jemaah adalah di pulau Kamaran, tidak jauh dari pantai Yaman. 

Di Kamaran para Jemaah haji tinggal sementara selama 10-15 hari untuk dilakukan isolasi terlebih dahulu sebelum menginjak Tanah Suci. Tujuannya sudah pasti untuk menahan persebaran penyakit. Meski begitu, para Jemaah harus membayar sendiri untuk biaya isolasi di Kamaran.

 Langkah antisipasi pun dilakukan pemerintah Hindia-Belanda guna mencegah para Jemaah terkena atau menjadi transmisi penyakit. Hal yang dilakukan sebelum berangkat adalah dilakukannya pemeriksaan Jamaah. 

Dalam perjalanan dari Jawa menuju Tanah Suci, geladak kapal yang digunakan harus terbuat dari kayu atau besi atau baja dan memiliki atap yang baik untuk melindungi penumpang dari sengatan sinar matahari. Tentu saja, di kapal tersebut para dokter diikut sertakan dan harus dipastikan perbekalan selama perjalanan terpenuhi. 

Antisipasi yang dilakukan pemerintah adalah hal yang cukup wajar guna mengantisipasi penyakit. Terlebih, menurut F.E Peters dalam The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and The Holy Place (1994), ketika penyakit kolera melanda Arab Saudi pada tahun 1865 mayoritas sumber penyakit berasal dari jamaah Jawa dan Singapura yang pergi ke Mekkah.

Meskipun langkah pencegahan sudah dilakukan pemerintah Hindia-Belanda, tetap saja terdapat penumpang yang terkena penyakit ketika berada di kapal. Untuk memberitahu apabila ada yang terserang penyakit, dibuat sistem pemberitahuan melalui bendera. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun