Mohon tunggu...
fajarseptoni
fajarseptoni Mohon Tunggu... Humas

Humas di bidang Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Micro Retirement: Strategi Baru Hidup Seimbang bagi Generasi Z dan Milenual

8 Agustus 2025   10:14 Diperbarui: 8 Agustus 2025   10:14 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bhenu ArthaDosen Program Studi Kewirausahaan Universitas Widya Mataram


Di tengah tekanan hidup modern, muncul sebuah konsep yang mulai menarik perhatian generasi muda: micro retirement. Berbeda dari pensiun konvensional yang terjadi di usia senja, micro retirement adalah jeda-jeda pensiun mini yang diambil di tengah karier aktif. Konsep ini menawarkan waktu untuk refleksi, eksplorasi, dan pemulihan diri, dan menjadi respons terhadap burnout, ketidakpastian ekonomi, serta perubahan nilai hidup yang dialami oleh Generasi Z dan Milenial.
Micro retirement merujuk pada periode istirahat panjang dari pekerjaan---biasanya beberapa bulan hingga satu tahun---yang diambil secara sadar dan direncanakan, bukan karena PHK atau keadaan darurat. Tujuannya bisa beragam: mengejar passion, traveling, belajar hal baru, atau sekadar beristirahat dari rutinitas kerja. Berbeda dari sabbatical yang biasanya difasilitasi oleh institusi, micro retirement lebih bersifat mandiri dan fleksibel. Ini bukan tentang berhenti bekerja selamanya, melainkan tentang menciptakan ruang untuk hidup yang lebih bermakna di sela-sela karier.
Beberapa hal yang membuat Gen Z dan Milenial tertarik micro retirement, diantaranya adalah burnout dan kesehatan mental. Generasi Z dan Milenial tumbuh dalam era digital yang serba cepat, penuh tekanan sosial, dan ekspektasi tinggi. Banyak dari mereka mengalami burnout di usia muda. Micro retirement menjadi cara untuk menghindari kelelahan kronis dan menjaga kesehatan mental.
Berikutnya yaitu perubahan nilai hidup. Generasi muda cenderung lebih menghargai pengalaman daripada kepemilikan. Mereka tidak lagi melihat karier sebagai satu-satunya sumber identitas. Ada dorongan kuat untuk mengejar makna, koneksi sosial, dan keseimbangan hidup. Micro retirement memberi ruang untuk mengeksplorasi nilai-nilai tersebut.
Faktor selanjutnya Adalah fleksibilitas karier dan gig economy. Dengan berkembangnya freelance, remote work, dan gig economy, banyak pekerja muda yang tidak terikat pada satu perusahaan. Ini membuka peluang untuk merancang ritme kerja sendiri, termasuk mengambil jeda panjang tanpa harus menunggu usia pensiun.
Ketidakpastian ekonomi juga menjadi penyebab micro retirement. Mereka sadar bahwa pensiun tradisional mungkin tidak realistis di masa depan. Maka, mereka memilih untuk menikmati hidup selagi bisa, daripada menunda kebahagiaan hingga usia 60-an.
Meski terdengar ideal, micro retirement bukan tanpa risiko. Ada beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan diantaranya stabilitas finansial. Mengambil jeda kerja berarti kehilangan pendapatan sementara. Tanpa perencanaan keuangan yang matang, micro retirement bisa menjadi bumerang. Dibutuhkan disiplin menabung dan strategi investasi agar jeda ini tidak mengganggu kestabilan hidup.
Ketidakjelasan karier juga perlu dipertimbangkan. Bagi sebagian orang, jeda panjang bisa membuat arah karier menjadi kabur. Ada risiko kehilangan momentum, jaringan profesional, atau bahkan peluang promosi. Maka, penting untuk merancang micro retirement dengan tujuan yang jelas dan rencana kembali yang konkret.
Tekanan sosial juga harus dipertimbangkan dalam pengambilan Keputusan micro retirement. Di banyak budaya, termasuk Indonesia, jeda kerja bisa dipandang negatif. Ada stigma bahwa seseorang yang berhenti bekerja adalah pemalas atau tidak produktif. Generasi muda perlu menghadapi tekanan sosial ini dengan keyakinan dan komunikasi yang baik.
Agar micro retirement menjadi pengalaman yang memperkaya, bukan merugikan, maka diperlukan perencanaan finansial yang matang, dengan membuat micro retirement fund sejak dini, terpisah dari dana darurat, yaitu dengan menggunakan instrumen investasi jangka menengah seperti reksa dana atau deposito berjangka.
Juga diperlukan penentuan tujuan, apakah ingin belajar hal baru? Atau Traveling? Atau bahkan menulis buku? Merintis usaha? Dengan adanya tujuan yang jelas akan membuat jeda ini bermakna dan tidak terasa seperti "menganggur".
Perlu dipertimbangkan untuk membangun portofolio yang fleksibel dan berkomunikasi dengan lingkungan. Mengembangkan keterampilan yang dapat digunakan secara freelance atau remote serta membangun jaringan profesional yang tetap aktif selama jeda. Komunikasi yang baik kepada keluarga, kolega, atau atasan tentang rencana dan alasan micro retirement harus dilakukan, dengan menggunakan narasi yang positif, bahwa ini bukan pelarian, tapi investasi diri.
Di Indonesia, konsep micro retirement masih relatif baru dan belum sepenuhnya diterima. Budaya kerja keras dan loyalitas terhadap perusahaan sering kali membuat jeda kerja dianggap tabu. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental dan munculnya generasi muda yang lebih terbuka, peluang untuk mengadopsi konsep ini semakin besar.
Institusi pendidikan dan perusahaan bisa mulai merancang program career break atau sabbatical yang lebih inklusif. Pemerintah pun dapat mendorong kebijakan kerja fleksibel dan perlindungan sosial bagi pekerja lepas agar micro retirement menjadi lebih aman secara finansial.
Bagi Generasi Z dan Milenial, micro retirement bukan sekadar liburan panjang. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem kerja yang terlalu menuntut, sekaligus strategi untuk merancang hidup yang lebih seimbang dan bermakna. Dengan perencanaan yang matang, jeda ini bisa menjadi investasi diri yang memperkaya karier dan kehidupan secara keseluruhan. Di masa depan, mungkin kita tidak lagi bertanya "kapan pensiun?", melainkan "kapan jeda berikutnya?". Karena hidup bukan hanya tentang bekerja, tapi juga tentang tumbuh, merasakan, dan menemukan kembali diri kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun