Oleh: Suci Azzahra
Hari pertama aku melangkahkan kaki ke sekolah menengah pertama, perasaanku campur aduk --- antara deg-degan, canggung, dan sedikit takut. Aku datang bersama sepupuku, Nita. Kami berdiri di depan gerbang sekolah, memandangi lautan siswa baru yang tampak sudah saling mengenal. Sementara kami? Hanya bisa saling menatap dan menenangkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian, seorang gadis datang bersama ibunya. Ia tampak ragu-ragu berdiri di dekat gerbang. Tatapannya berkeliling, mencari wajah yang familiar, tapi tak menemukan siapa pun. Aku dan Nita pun memutuskan menghampirinya.
"Hai, siapa namanya?" sapa Nita dengan senyum ramah.
"Namaku Salsa," jawabnya pelan, tapi tampak lega.
Sejak sapaan kecil itu, langkah-langkah kami perlahan menyatu. Kami bertiga duduk di bawah pohon dekat lapangan, menunggu bel masuk berbunyi sambil saling bercerita tentang sekolah lama dan hal-hal sepele yang membuat kami merasa tak sendiri lagi.
Hari-hari MPLS kami jalani bersama. Lalu datang hari pembagian kelas aku dan Nita di 7A, sementara Salsa di 7C. Kami pun jarang bertemu karena sistem shift akibat pandemi. Namun, obrolan daring menjaga kami tetap dekat.
Waktu berjalan. Di kelas, aku dan Nita mulai membuka diri. Kami berteman dengan Ulfi, gadis yang ternyata ramah meski awalnya terlihat pendiam. Dari Ulfi, kami mengenal sepupunya, Sasa, dan tak lama kemudian aku memperkenalkan teman lamaku, Dian.
Dari pertemuan sederhana itu, lahirlah kami berlima... lalu berenam.
Aku, Nita, Salsa, Ulfi, Sasa, dan Dian.