Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lawan Preman dengan Tindakan Preman

8 April 2013   14:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1365430283141370208

Tragedi berdarah Lapas Cebongan melahirkan pro-kontra di antara masyarakat. Hal ini tampak dalam aneka suara di media. Sekurang-kurangnya ada dua arus deras suara yang muncul ke permukaan. Di satu sisi:  para penggiat HAM, pemerintah, DPR, dan sebagian masyarakat menyesalkan/mengutuk tindakan pembantaian keempat tersangka pembunuhan Serka Santoso sebelumnya yang dilakukan di dalam Lapas. Alasannya: jika seseorang sudah/sedang dalam proses hukum, maka tidaklah dibenarkan siapapun dia, entah aparat maupun warga sipil mengambil alih menjadi hakim serentak eksekutor terhadap mereka. Menurut kelompok ini, tindakan ke-9 oknum Koppasus yang membantai keempat tersangka melawan hukum dan HAM. Bukan hanya hukum yang dilawan tetapi serentak melawan kedaulatan NKRI sebagai negara hukum karena tindakan mereka memainkan "hukum rimba" yang dilandasi motivasi "balas dendam" atas kematian (mantan?) anggota korpsnya. Hal ini semakin terasa memberatkan karena yang melakukannya justru orang-orang yang seharusnya menjadi penjamin tegaknya supremasi hukum demi kedaulatan NKRI sebagai negara hukum.

Sementara itu, di sisi berlawanan, pada tingkat arus bawah, muncul suara dukungan terhadap tindakan ke-9 oknum Koppasus. Mengapa? Karena mereka dianggap "berjasa" telah membunuh "preman" sehingg bisa menjamin rasa aman warga. Tindakan ke-9 oknum ini diapresiasi dengan julukan "ksatria" atau pahlawan karena telah membantu membasmi musuh masyarakat arus bawah yang seringkali dikasari oleh para preman jalanan. Padahal motivasi utama tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh ke-9 oknum Koppasus adalah "balas dendam" dan bukan demi mengamankan masyarakat dari aksi premanisme. Hanya saja dampak dari tindakan mereka lantas dianggap oleh kelompok ini secara tidak langsung sebagai sebuah bentuk tindakan penyelamatan negara dari cengkraman premanisme.

Tentu masih ada suara lain yang bermain di antara kedua arus utama yang sekurang-kurangnya menurut pengamatan saya cukup sigifikan tampil di media pasca tragedi berdarah Cebongan. Masing-masing kelompok mengeluarkan argumen yang mendukung opini mereka, sehingga sulit sekali menemukan titik temu.

Akan tetapi, satu hal yang pasti dan menjadi sebuah fakta hukum taktersangkalkan adalah bahwa pasca tragedi penembakkan di Lapas Cebongan, negara tidak tinggal diam. Seluruh jajaran pemerintahan mulai dari Presiden sampai ke bawahannya yang terkait mengutuk tindakan "main hakim sendiri" kelompok bersenjata ini, sehingga keberadaan mereka diburu. Pihak TNI AD pun demikian. Ketika ada indikasi bahwa ada oknum TNI AD yang terlibat, maka Kepala Staf Angkatan Darat segera membentuk team investigasi internal. Buah dari kerja keras team ivestigasi internal TNI AD ini adalah ditetapkannya ke-9 oknum anggota Koppasus sebagai terangka yang akan diadili dengan pengadilan militer.

Dari fakta hukum ini, seharunya menjadi jelas bagi masyarakat bahwa tindakan ke-9 oknum Koppasus tersebut "salah" karena melawan hukum. Jika tidak bersalah, maka pasti mereka dibiarkan saja. Negara pun tidak perlu susah payah untuk menyelidiki kasus ini. TNI AD pun tidak perlu membentuk team investigasi internal guna mengusut keterlibatan anggotanya dalam kasus ini.

Lalu apa sesungguhnya yang terjadi di dasar gung es, ketika tindakan sewenang-wenang ke-9 oknum Koppasus yang jelas-jelas melawan hukum justru melahirkan suara pro di sebagian masyarakat arus bawah?

Tragedi Cebongan memang menjadi puncak dari sebuah gunung es kekecewaan warga terhadap supremasi hukum sipil di negeri ini. Pembiaran aneka kekerasan yang terus meraja lela dan kurangnya political will dari pemerintah dan para penegak hukum untuk memberantas premanisme mulai dari preman jalanan yang mencopet, memalak, dan membunuh, sampai dengan preman berdasi yang membunuh jutaan rakyat miskin di negeri ini melalui tindakan korupsi triliunan rupiah membuat masyarakat arus bawah menjadi geram.

Akumulasi kegeraman dan kekecewaan yang bertumpuk ini melahirkan pola pikir pragmatis/jalan pintas yang menunjukkan bahwa sebagaian rakyat sudah tidak sabar lagi jika semua persoalan diurus melalui proses hukum. Sebagian masyarakat yang tidak sabar ini mau supaya masalah premanisme dalam berbagai bentuknya segera diberantas tuntas, meskipun untuk itu harus dilakukan dengan sebuah aksi premanisme lainnya. Filosofi di baliknya adalah "mari kita lawan kekerasan dengan kekerasan" atau "Mari kita gantikan hukum sipil dengan hukum rimba saja." Mengapa? Karena hukum sipil sudah tidak dipercaya lagi di negeri ini oleh kelompok yang kecewa atau boleh dibilang kelompok "putus asa" ini.

Lalu, apakah semua harus sepakat membiarkan "lingkaran setan kekerasan" terus meraja lela di negeri ini? Pertanyaannya, apa yang harus dibuat untuk memutuskan mata rantai kekerasan dan premanisme di negeri ini?

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah bahwa semua pihak bergandengan tangan dengan berbagai cara mendorong membaiknya supremasi hukum di negeri ini. Harus ada political will dari pemerintah dan terutama aparat penegak hukum untuk menindak tegas sesuai perundang-undangan yang berlaku semua pelaku tindakan aneka bentuk premanisme para warganya. Dan ini soal kepastian hukum yang bisa mengembalikan trust masyarakat atas hukum dan peradilan sipil. Jika tidak, maka tontonan "pengadilan massa" yang mengedepankan "hukum rimba" baik terhadap pelaku kejahatan maupun terhadap target "salah sasaran" (seperti yang dialami oleh seorang Kapolres baru-baru ini) akan terus menjadi sebuah tontonan di negeri ini yang memberikan rasa puas palsu kepada masyarakat yang terlanjur tidak percaya dengan hukum dan aparat penegak hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun