Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Harus Memilih, Menikahi Dia atau Menjadi Pastor Katolik

3 Juni 2012   05:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:27 2276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1338734394514572051

[caption id="attachment_180659" align="aligncenter" width="610" caption="Ilustrasi Tahbisan Pastor (catholic-convert.com)"][/caption]

Hari ini, hari menjelang hari penahbisan aku dan Rikard untuk menjadi man of God and man for others. Besok merupakan hari puncak kebahagiaan kami di mana kami secara bebas memilih untuk ditahdiskan menjadi imam Tuhan dan Imam umat, menjadi gembala bagi kawanan domba yang Tuhan percayakan dalam penggembalaan kami. Hari di mana kami berjanji di hadapan Tuhan dan umat sekalian yang hadir dalam perayaan Ekaristi untuk tidak mengikatkan diri pada siapa pun dan apa pun, termasuk kepada seorang wanita. Hari di mana kami akan berjanji untuk memegang teguh selibat sampai ajal menjemput. Itulah puncak sementara dari kerinduan dan peziarahan kami selama 16 tahun. Yah, selama enam belas tahun, kami telah dibentuk, ditempa dan dibina untuk peristiwa hari esok dan selanjutnya. Dari Gereja Katedral kudengar paduan suara sedang menyanyikan lagu Alleluya. Mereka sedang mengadakan persiapan akhir alias general repetisi untuk mengiringi missa penahbisan kami.

Di kamar ini, ingatanku kembali mengenang awal perziarahanku di jalan panggilan selama  16 tahun silam. Waktu itu, aku dan Rikard baru lulus sekolah dasar di kampung kami nun jauh di pelosok sana. Ketika kami ditanyai guru-guru mau melanjutkan ke SMP mana? Hanya aku dan Rikard yang menyatakan mau masuk ke Seminari Menengah Pertama, sebuah lembaga pendidikan calon pastor Katolik setingkat SLTP. Para guru begitu gembira mendengar bahwa dari antara muridnya ada yang mau menjadi pastor di zaman yang semakin mendewakan uang, kekayaan, kekuasaan, dan kenikmatan manusiawi. Satu hal yang menjadi pendorongku untuk masuk seminari karena saya melihat bahwa anak-anak seminari selalu lebih cerdas, saleh, dan terampil dalam memainkan alat musik apa saja, serta lincah menggocek si kulit bundar di lapangan hijau tatkala mereka kembali ke kampung halaman pada saat liburan Natal. Yang terakhir inilah yang menjadi impianku karena aku tahu bahwa di seminari ada lapangan bola kaki yang rata dan luas.

Kami pun didaftarkan dan diantar oleh Guru Agama ke seminari untuk mengikuti test masuk. Sesampai di seminari mentalku langsung ciut menyaksikan ratusan calon lain yang datang dari berbagai kabupaten, kota, bahkan pulau. Rikard sempat membisikan perasaan kalutnya ke telingaku: "kawan, bisakan kita bersaing dengan mereka yang kebanyakan anak-anak kota ini?" Untuk membesarkan hatinya dan hatiku juga aku hanya mengatakan kepadanya: "tenang kawan, selagi mereka dan kita masih sama-sama makan nasi, saya yakin kita bisa lulus." Kami pun memasuki ruangan test. Setelah 5 menit menanti di ruangan kelas, muncullah seorang pastor Belanda, mengenakan jubah putih, dan berjenggot lebat. Dia memperkenalkan diri, membagi soal, dan kemudian mengatakan: "kerjakan 100 soal di hadapan anda dalam waktu 1 jam ke depan tanpa nyontek dan berdiskusi dengan teman!"

Melihat soalnya, perutku langsung mules dan kepalaku langsung nyut-nyutan. Aku tenangkan hati, berdoa di dalam hati untuk menenangkan perasaan fobiaku. Kulihat Rikard langsung melahap soal-soal yang ada dengan penuh nafsu seolah-olah menghadapi nasi goreng kesukaannya. Yah, dia memang lebih cerdas dariku, dia selalu menjadi nomor satu dan aku selalu menjadi nomor dua di kelas kami. Setelah perasaanku sedikit tenang, aku mengambil balpoin pilot dari kantong kemejaku dan mulai menuliskan jawaban di atas kertas jawaban yang telah disediakan. Soalnya bergantian: Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Musik dan logika. Bahasa Indonesia, IPS, Matematika, IPA, dan Musik, jemariku masih lancar menuliskan jawabannya. Ketika sampai di logika, jemariku mulai kaku dan tulisanku pun mulai tersendat-sendat. Soalnya begitu rumit dan perutku mulai mules dan keringat mulai bercucuran di wajahku. Sampai bel dibunyikan baru 96 soal  telah selesai kukerjakan. Artinya, hanya satu soal logika yang berhasil kukerjakan.

Pastor Belanda yang mengawasi ujian mendekati meja peserta satu demi satu dan sampailah di mejaku. "Nei...nei...nei, anda tidak akan lulus karena anda tidak mengejakan soal logika." Aku makin ciut dan rasaya mau kutumpahkan air mata yang sudah bergelayut di kelopak mata, namun masih berhasil kutahan karena menurut ayahku tidak pantas seorang anak laki-laki menangis apalagi di depan banyak orang. Pastor Engels kemudian mengumumkan: "setelah ini, anda semuanya akan diwawancara satu persatu oleh pembina seminari." "Wah celaka 13, " batinku. Wawancara dengan  seorang pastor berarti ujian lisan.

Tibalah giliranku diwawancara. Perlahan aku menuju sebuah ruangan dan betapa terkejutnya aku ketika melihat bahwa yang duduk di balik menja adalah Pastor Egels, Imam Jerman, yang sekaligus dokter bagi para siswa seminari yang hampir membuatku menangis di ruangan test tertulis. Masih belum dipersilahkan duduk di kursi di hadapannya, aku langsung diberondong dengan serentetan perintah dan pertanyaan: "Perkenalkan dirimu secara singkat, padat, jelas! Mengapa anda mau masuk seminari? Mampukah anda mendisiplinkan diri selama dididik di seminari?

Sambil mengumpulkan kekuatan untuk mengangkat kepala dan tidak jatuh terduduk saking merasa takut dengan terbata-bata aku menjawab. "Namaku: Andreas Mika. Biasa dipanggil Andre. Ayahku seorang petani dan peternak sapi. Ibuku juga sering membantu ayah mengerjakan sawah, selain sebagai ibu rumah tangga. Saya anak kedua dari empat bersaudara. Saya mau masuk seminari karena mau jadi pastor dan pemain bola kaki yang.... "

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, kata-kataku langsung dipotong olehnya. "Apa? Nei....nei....nei, kalau mau menjadi pemain bola kaki bukan di sini tempatnya. Di sini, hanya menjadi tempat persemaian bibit-bibit unggul dalam hal rohani dan intelektual untuk menjadi seorang abdi Allah dan sesama yang miskin. Tempat anda tidak di sini."

Mendengar kalimatnya yang terakhir, pertahananku pun bobol dan kurasakan pipiku memanas, butiran kristal menggelinding satu demi satu membasahi pipi kanak-kanakku. Aku menangis karena yakin bahwa aku tidak akan lolos test masuk seminari.

Dengan wajah tertunduk lesu sambil melap air mata di pipi menggunakan telapak tanganku, aku berjalan dengan langkah gontai ke luar kamar. Sepanjang perjalanan pulang menggunakan Truk berbody kayu ke rumah, aku diam seribu bahasa, meskipun Rikard terus berceloteh tentang segala hal yang dilihatnya di kompleks seminari yang seluas 10 hektar itu. Karena tidak mendengar sedikitpun respon dariku, ia pun menepuk bahuku dan kembali menguatkan aku: "tenang kawan, kalau Tuhan yang memanggil, pasti ada mujizat bagi kita berdua yang berasal dari kampung yang udik ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun