Mohon tunggu...
Fajar Dwi Ariffandhi
Fajar Dwi Ariffandhi Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Lepas

Hadir kembali di kompasiane tempat belajar nulis sejak 2014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Rumah yang Membosankan

10 Agustus 2017   02:16 Diperbarui: 10 Agustus 2017   04:18 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sulit juga membayangkan surga itu begimana. Akhirnya yang  terbayang rumah. Tapi kalau rumahku surga, aku jadi malas pulang. Sebab selama ini, otakku yang bentuknya gak simetris sudah dikotomi sama yang  namanya surga itu enak. Tempatnya yang nikmat-nikmat. Minum SMJ (Susu  Madu Jahe), gak pake telor. Ditambah tidak adanya menu kopi. Kalau cuma gak ada asongan rokok kusuda ta butu lagi~

Di surga tidurnya bareng bidadari. Bidadari tidur, kitanya tidur --ngapain.

Sudahlah, jangan pulang ke rumah kalau rumah itu surga. Rumah rumah  saja, tidak pakai surga juga tak apa. Pertama, karena belum pernah  merasakan hidup di surga. Aku percaya surga itu ada kok. Yakin. Tapi  untuk gambaran surga itu seperti apa masih remang-remang. Jadi aku tidak  bisa seketika nembak dedeq maba cantiq. Sebab qaqa bilang rumput  tetangga lebih hijau. O, fatamorgana.

Ini lebih karena aku cenderung materialis mungkin. Mempercayai sepenuhnya apa yang sudah dirasakan, dilihat, diterawang, diraba, dijilat, dicelupin. Surga  terlalu rumit, bahkan untuk sekadar dibayangkan. Jadi sebenarnya aku  juga salah kalau harus membanding-bandingkan rumah dengan surga. Jelas,  karena kalau mau bandingin secara fair kudu tahu pasti apa yang kita bandingin. Biar berimbang, objektif dalam metode. Aih.

Kedua, aku suka rumah. Rumah yang membosankan. Sebab bosan aku mau  pergi, dan karena pergi aku kembali. Aku membayangkan jika rumah seperti  surga yang di idam-idamkan itu. Dan ditafsirkan mau gini enak, mau gitu  enak. Mengakibatkan kebetahan hqq. Tapi keindahannya semu. Nah ini aku  kurang materialis. Lebih tepatnya magis. Untuk apa di tempat yang cuma  bisa leha-leha? Ini masih di dunia loya,jadi yang di kepala itu surga rasa enak-enak dunia, apa? ya leha-leha!

Sepengelamanku sebagai anak yang dibesarkan oleh orang tua dalam  sebuah rumah, yang kutahu rumah itu membosankan. Anak-anak lebih suka  keluar rumah dan bermain atau mencari teman. Sampai akhirnya kita besar  dan memutuskan merantau jauh dari rumah, entah itu sebentar atau lama  nanti kita bakalan pulang ke rumah. Ironi daun kates, hanya karena rumah sudah kita punya jadi kurang didamba. Sekalinya di damba, yang di angan-angan rumah tampang istana.

Rumah akan tetap membosankan. Sebab rumah itu memberi yang terbaik,  seperti orang tua, sedang kita selalu kanak-kanak. Pernah dengar pameo jadi orang baik itu membosankan? Kita boleh bilang kalau bosan itu adalah hal buruk. Tapi karena bosan  rela dicap buruk, maka kita menjadi baik. Orang bilang baik dan buruk  itu musti ada, seperti siang dan malam. Kalau mau menjadi baik, baiknya  menyukai yang buruk. Menyukai yang buruk tidak untuk menjadi buruk.  Bersyukurlah kalau masih ada yang mau jadi buruk, sebab ada kebaikan di  dalamnya demi kita.

Banyak hal buruk terjadi di rumah. Meski hal buruk di luar rumahlah  yang kemudian kita bawa ke rumah, hingga rumah menjadi membosankan. Rumah tempat pulang, pulang mesti membawa kenang yang tak selalu senang. Membosankan.

Terpujilah rumah yang membosankan. Dan penghuninya. Dan orang-orang yang mau menjadi rumah, terlebih membosankan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun