PENDAHULUAN
Di era di mana hampir setiap sudut kehidupan bisa menjadi konten, kebutuhan akan ruang privat menjadi semakin mendesak, atau setidaknya, terasa mendesak. Di antara ruang-ruang yang semakin terbuka dan algoritma yang terus menuntut performa, fitur Close Friends di Instagram hadir sebagai "jalan keluar" yang menjanjikan. Ia disebut-sebut sebagai ruang aman, ruang jujur, tempat di mana seseorang bisa tampil tanpa topeng, tanpa sensor, tanpa tekanan performatif. Namun, seperti halnya banyak ilusi di dunia digital, kehadiran fitur ini justru menimbulkan pertanyaan: apakah kita benar-benar sedang berada di ruang belakang? Ataukah ini hanyalah bentuk baru dari panggung yang lebih eksklusif, lebih subtil, dan lebih personal, tapi tetap penuh kalkulasi?
Fenomena ini membuka diskusi menarik tentang identitas digital, strategi sosial, dan dramaturgi diri di era media baru. Dalam teori dramaturgi yang diperkenalkan Erving Goffman, kehidupan sosial dibagi menjadi dua wilayah: front stage, di mana individu menampilkan versi terbaiknya di depan audiens, dan back stage, ruang privat untuk menjadi diri sendiri tanpa penghakiman. Tapi di era media sosial, batas antara panggung dan belakang panggung tak lagi jelas. Bahkan ruang yang katanya tertutup, sering kali tetap dipoles demi impresi. Close Friends bisa jadi terlihat seperti backstage, tapi siapa yang memilih siapa yang bisa masuk ke dalamnya? Apa motif dari konten yang dibagikan? Mengapa masih terasa seperti perlu tampil, walau hanya di depan segelintir orang? Di ruang ini, keintiman bukan hanya soal kedekatan, tetapi bisa jadi adalah bentuk lain dari performa yang lebih eksklusif. Kita tidak sedang jujur, kita hanya sedang menampilkan versi "rapuh" yang terkontrol, versi "receh" yang lucu untuk dinikmati bersama, atau bahkan versi "emosional" yang sengaja dibagikan untuk membangun koneksi sosial. Kita tetap bermain peran, hanya dengan kostum dan naskah yang lebih kasual.
Tulisan ini akan menelusuri bagaimana fitur Close Friends telah menciptakan realitas yang ambigu, antara keaslian dan performa, antara keintiman dan eksklusivitas, antara ekspresi dan strategi. Di bawah sorotan teori dramaturgi, kita akan mengkaji apakah ruang yang kita anggap paling "jujur" di media sosial sebenarnya adalah panggung yang paling diam-diam penuh peran.
Close Friends Sebagai "Ruang Belakang" Baru
Ketika media sosial menjadi panggung yang terbuka lebar bagi siapa saja, kebutuhan akan ruang untuk "melepaskan peran" semakin terasa. Di sinilah fitur seperti Close Friends mendapatkan momentumnya, ia hadir menawarkan sesuatu yang langka di dunia digital: ruang terbatas. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat, hanya audiens terpilih yang bisa mengakses sisi diri yang tidak diperlihatkan kepada publik. Di mata banyak pengguna, Close Friends menjadi simbol kepercayaan, keintiman, dan kebebasan. Namun dalam praktiknya, "ruang belakang" yang ditawarkan oleh fitur ini tidak sesederhana itu. Keputusan siapa yang masuk ke dalam daftar Close Friends pun adalah proses kurasi sosial. Kita memilih orang-orang yang dianggap cukup dekat, cukup bisa dipercaya, tapi juga cukup bisa "mengerti citra" yang ingin kita tampilkan di ruang tersebut. Artinya, bahkan dalam ruang yang diklaim privat ini, kita tetap menyusun audiens. Kita tidak sedang "melepaskan topeng", kita hanya mengganti topengnya dengan yang tampak lebih kasual, lebih jujur, padahal tetap terkontrol.
Ada ironi halus di balik fitur ini. Alih-alih menjadi ruang untuk diam, untuk jujur tanpa naskah, Close Friends sering kali berubah menjadi panggung kecil yang bersuasana lebih akrab, tapi tetap panggung. Kita masih memikirkan bagaimana unggahan akan diterima, apakah akan dianggap lucu, relatable, atau "sarkas yang elegan". Kita tetap menciptakan narasi, hanya saja dengan penonton yang lebih terseleksi. Di sinilah batas antara backstage dan front stage menjadi kabur. Ruang yang katanya privat, ternyata tidak bebas dari strategi. Keputusan untuk berbagi pun bukan sekadar bentuk ekspresi spontan, melainkan bagian dari performa sosial yang lebih personal namun tetap politis. Kita tetap memanajemen kesan---bukan untuk publik luas, tetapi untuk audiens yang kita anggap penting. Close Friends pada akhirnya bukan ruang di luar panggung. Ia justru bisa menjadi bentuk baru dari pertunjukan yang lebih tenang, lebih personal, tapi tetap penuh kalkulasi. Ia bukan tempat kita berhenti tampil. Ia hanya membuat kita merasa lebih nyaman saat tampil.
Dramaturgi Digital: Saat Backstage Pun Jadi Panggung
Erving Goffman dalam teori dramaturginya membagi dunia sosial ke dalam dua ruang utama: panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Di panggung depan, kita tampil untuk publik, menyusun impresi dan memainkan peran sesuai ekspektasi sosial. Sementara di belakang panggung, kita seharusnya bisa bersikap lebih lepas, jujur, dan tidak dibatasi oleh norma-norma performatif. Di sanalah seharusnya keotentikan bertahan. Namun di era media sosial, batas itu tak lagi sejelas dulu. Bahkan ruang yang tampaknya bersifat "pribadi", seperti Close Friends, telah mengalami pergeseran. Backstage kini bukan lagi tempat di mana kita berhenti bermain peran, tetapi justru tempat di mana kita memainkan peran yang berbeda. Lebih subtil, lebih santai, tapi tetap dikalkulasi. Di sinilah muncul konsep yang bisa disebut sebagai "dramaturgi digital", di mana semua ruang, bahkan yang paling personal di dunia maya, adalah bagian dari ekosistem performatif. Kita mungkin tidak sedang bermain untuk ribuan audiens, tapi kita tetap bermain untuk "penonton pilihan". Dan terkadang, panggung kecil ini justru lebih membuat kita berhati-hati. Karena kedekatan menciptakan tekanan sosial baru: untuk tampil apa adanya, tapi tetap bisa dikomentari dan dinilai.
Bahkan kejujuran pun, di ruang ini, bisa jadi performa. Kita "tampil rapuh" dengan caption yang cerdas. Kita "curhat" dengan tone sarkas yang terukur. Kita menampilkan lelah, tapi tetap estetik. Dalam dramaturgi digital, semua emosi bisa menjadi materi performatif, semua ekspresi bisa diolah agar tetap sesuai dengan karakter yang kita bangun, entah itu versi realis, ironis, atau tragis yang estetik. Alih-alih melahirkan keotentikan, fitur-fitur semi-privat seperti Close Friends justru berisiko menciptakan lapisan identitas digital yang makin berlapis-lapis. Kita bukan lagi satu tokoh dengan dua sisi, tapi banyak versi dari satu diri, masing-masing tampil di panggung yang berbeda, tapi tetap dalam logika pertunjukan. Dan saat semua ruang menjadi panggung, muncul pertanyaan mendalam: apakah kita masih tahu seperti apa kita sebenarnya, ketika tidak sedang tampil untuk siapa-siapa?
Performa Keintiman: Ketulusan Atau Strategi?