Mohon tunggu...
Faizatul Ummah
Faizatul Ummah Mohon Tunggu... Psychology Enthusiast

Semakin Aku Belajar, Semakin Aku Merasa Bodoh

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cermin Tetangga

9 Januari 2021   12:01 Diperbarui: 9 Januari 2021   12:05 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: foto-foto keren.blogspot.com


Krisis seperempat abad atau yang lebih dikenal dengan istilah "quarter life crisis" (QLC) pada dasarnya jamak menimpa kalangan usia 18-30 tahun. QLC sendiri merupakan perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan mendatang seputar relasi, karier, dan kehidupan sosial. Di fase tersebut kerap kali didapati sebagian individu yang mempertanyakan eksistensi yang berujung pada kualitas penerimaan terhadap diri sendiri. Ketika melihat sosial media dengan beragam kesuksesan yang diraih orang lain, terjadilah drama melankolis yang diciptakan sendiri. Seperti "insecurity" yang semakin meninggi, merasa tersakiti, tersaingi, tertinggal dan sebagainya. Padahal nyatanya mereka tidak sedang berkompetisi dengan siapapun.

Secara alamiah problem yang dihadapi sangat terkait dengan tugas-tugas perkembangan yang dirasa belum tuntas. Hurlock (2009) membagi tugas perkembangan dewasa awal (usia 18-25 tahun) antara lain, yaitu:  mendapatkan suatu perkerjaan, memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama dengan suami istri membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak,  mengelola sebuah rumah tangga,  menerima tanggung jawab sebagai warga negara, dan berkecimpung dalam suatu kelompok sosial. Misalnya, individu dengan usia 25 pada umumnya telah mampu bekerja mandiri atau bahkan membangun keluarga dengan yang dicintai. Hal ini tak jarang memicu virus gegana (gelisah, galau, merana) khususnya bagi mereka yang belum berpenghasilan maupun berpasangan. Eits..., itu kehidupan tetangga, mungkin kamu belum waktunya hehehe.

Sangat manusiawi memang jika kita menginginkan fase hidup kita seperti kebanyakan orang. Akan tetapi selalu membandingkan kehidupan kita dengan orang lain juga bukan hal yang sehat untuk dilakukan berulang-ulang. Adakalanya berkaca membuat kita tahu bagian mana yang ternoda di wajah kita, namun berkaca didepan cermin tetangga juga tidak lantas membuat kita leluasa berhias bukan?

Berkacalah di rumah kita sendiri. Kenali diri lebih dalam lagi, pasti ada potensi yang perlu digali lagi, lihat dan amati setiap inci dari periode kehidupan yang kita lewati untuk kemudian kita syukuri. Kekhawatiran yang pernah memenuhi pikiran adalah hal yang wajar. Kita manusia pemilik ketidakpastian, kita manusia menginginkan kepuasan, kita manusia yang sayangnya juga akrab dengan rasa kecewa dan keputusasaan.

Selain keluhan, apa ada obat yang lebih tabah untuk mengurangi keresahan? Selain tangisan apa ada yang lebih mujarab untuk meninabobokan "overthinking" yang telah melebihi dosis ringan? Ada banyak pertanyaan yang tidak harus terjawab saat ini. Jika hari ini kalian ingin berkeluh kesah dan menangis silahkan. Akan tetapi selagi kita masih di perjalanan (rentetan kehidupan) tidak ada salahnya membuat keputusan baru yang lebih menumbuhkan harapan. Sekian curhat terselubung dari pikiran yang sudah seperti pasar malam.

(Terimakasih udah mampir).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun