Tuntutan lahirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan aset tidak dapat dilepaskan dari fenomena maraknya kasus korupsi di indonesia yang kerap tidak tidak di usut dan diadili secara tegas. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2023 terdapat 612 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp. 12,02 triliun. Meski Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menjadi dasar hukum Utama, praktik penegakan masih lemah karena keterbatasan independensi aparat dan adanya celah kompromi politik.
Francis fukuyama dalam teorinya tentang state building menyatakan bahwa kualitas institusi dapat dilihat dari integritas aparat penegak hukum, khususnya polisi dan kejaksaan. Jika diterapkan dalam konteks indonesia, maka penegakan hukum terhadap kasus korupsi hanya bisa di ukur dari kualitas dan independensi dua institusi tersebut. Ironinya, banyak temuan publik menunjukkan adanya problem integritas di tubuh penegakan hukum, misalnya kasus suap jaksa pinangki dalam perkara Djoko Tjandra atau keterlibatan aparat kepolisian dalam praktik Obstruction of justice.
Dalam konteks represif tindak pidana korupsi, integritas polisi dan kejaksaan menjadi sorotan. Kewenangan besar tidak selalu dibarengi dengan akuntabilitas yang memadai, sehingga ruang kompromi dalam penanganan perkara tetap terbuka. Situasi ini menimbulkan keraguan apakah instrumen baru seperti RUU Perampasan Aset dapat efektif diterapkan tanpa terlebih dahulu melakukan reformasi mendasar pada aparat penegak hukumnya.
Di sisi lain, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seharusnya menjadi lembaga independen pun kini menghadapi tantangan serius dalam menjaga integritas dan efektivitasnya. Reformasi penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, maupun KPK menjadi jauh lebih mendesak dibanding sekedar melahirkan instrumen hukum baru. Tanpa subjek penegakan hukum yang memiliki integritas, akuntabilitas, dan basis moral yang kokoh, maka UU apapun tidak akan dapat di implementasikan secara Objektif.
Perbandingan urgensi antara RUU Perampasan Aset dan kondisi penegakan hukum di indonesia menunjukkan kesenjangan yang nyata. Instrumen hukum sebaik apapun tidak akan berarti bila dijalankan oleh aparat yang rapuh integritasnya. Dengan demikian, prioritas mendesak bukanlah segera mengesahkan RUU tersebut, melainkan melakukan reformasi penegakan hukum yang mampu menutup celah kompromi, memperkuat independensi, serta membangun moralitas aparat.Â
Kesimpulannya, reformasi penegakan hukum jauh lebih mendesak dibandingkan dengan pengesahan RUU Perampasan Aset. Jika reformasi tidak dilakukan, maka RUU tersebut berisiko menjadi "kertas tanpa makna" yang hanya mempertebal tumpukan regulasi tanpa daya eksekusi. Moral, integritas, dan akuntabilitas penegakan hukum merupakan kunci utama agar instrumen hukum dapat berjalan efektif, sehingga pemberantasan korupsi benar-benar dapat menegakkan keadilan substantif, bukan sekedar formaltas hukum.
Di tulis oleh : Faizal Anwar Siregar (Mahasiswa Pascasarjana IPDN)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI