Pernahkah Anda melihat sebuah judul berita di media sosial yang begitu provokatif, begitu menggelegar, hingga jari Anda terasa gatal untuk segera membagikannya? Entah itu karena marah, terharu, atau merasa paling tahu, ada dorongan kuat untuk menekan tombol share saat itu juga.
Sebagai seorang praktisi digital marketing, saya tahu betul ada 'dapur' di balik semua ini. Setiap headline yang Anda baca, setiap judul yang viral, seringkali tidak lahir dari kebetulan. Ada formula khusus, racikan kata-kata yang sengaja dirancang untuk memancing emosi, seperti kemarahan, ketakutan, harapan, atau kebanggaan.
Tujuannya sederhana, yaitu menggerakkan Anda untuk bertindak, entah itu mengklik, berkomentar, atau yang paling sering, membagikan. Ini adalah permainan emosi, dan sayangnya, kita terlalu sering menjadi pion yang tak sadar sedang digerakkan.
Celakanya, permainan ini tampaknya berhasil di Indonesia. Di tengah gemuruh transformasi digital menuju Indonesia Emas 2045, kita justru menyaksikan sebuah paradoks yang memilukan: akses informasi melimpah, namun nalar kritis justru sekarat.
Ketika Verifikasi Dianggap Tak Penting
Jika Anda merasa fenomena "asal sebar" ini hanya firasat, mari kita lihat kenyataannya. Data dari Survei Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) pada akhir 2023 melukiskan gambaran yang suram. Dari ribuan responden, hanya 23% yang merasa penting untuk memeriksa sumber informasi sebelum menyebarkannya.
Sisanya? Sebagian besar dari kita bersikap acuh tak acuh. Bahkan, ada 33% yang terang-terangan tidak setuju dengan ide untuk mengkritisi informasi. Ini bukan lagi soal malas, ini soal penolakan.
Artinya, kurang dari separuh bangsa ini yang punya kesadaran dasar untuk bertanya, "Benar tidak ya, berita ini?" Celah inilah yang menjadi pintu gerbang bagi serangan hoaks dan disinformasi yang kita hadapi setiap hari.
Bangsa yang Bisa Membaca, Tapi Malas Berpikir
Kita adalah bangsa yang melek huruf. Angka BPS menunjukkan 96,53%, dari kita bisa membaca. Tapi di sinilah masalahnya, bisa membaca ternyata tidak sama dengan mau membaca dan memahami. Fenomena ini disebut aliteracy.
Kita mampu mengeja kata, tapi gagal mencerna makna. Kita hanya sanggup memahami kalimat-kalimat pendek dengan kompleksitas rendah. Begitu dihadapkan pada teks yang lebih rumit, yang butuh analisis dan pemikiran, kita menyerah. Kondisi ini menjadikan kita mangsa empuk bagi narasi-narasi dangkal yang dikemas secara emosional, tanpa perlu basis fakta yang kuat.
Mengapa Nalar Kita Semakin Tumpul?
Saya melihat ada beberapa akar masalah yang saling berkelindan, mengubah kita dari konsumen informasi menjadi “budak”informasi.