Budaya Belajar yang Kaku dan Membebani
Banyak pelajar yang bangun pukul 5 pagi, masuk sekolah pukul 7, dan pulang pukul 3 atau bahkan lebih sore karena harus ikut bimbingan belajar. Belum lagi tugas rumah dan les tambahan. Budaya belajar kita kerap tak memberi ruang istirahat, bermain, atau mengeksplorasi minat pribadi.
Padahal menurut studi, otak remaja membutuhkan waktu istirahat yang cukup untuk tumbuh optimal. Ketika belajar jadi beban, maka rasa ingin tahu dan semangat belajar justru akan hilang. Inilah awal dari generasi yang pintar secara teori, namun lemah dalam semangat belajar mandiri.
Orang Tua dan Masyarakat Juga Punya Peran
Sering kali orang tua tanpa sadar memperkuat sistem nilai yang semu ini. Ketika anak pulang sekolah, pertanyaan pertama yang diajukan adalah, "Dapat nilai berapa?" bukan "Apa yang kamu pelajari hari ini?" Nilai menjadi identitas, bukan proses belajar.
Begitu pula masyarakat yang memberi pujian besar pada mereka yang juara olimpiade, namun tidak pada mereka yang aktif di kegiatan sosial atau seni. Pendidikan seharusnya tidak hanya memuliakan angka, tetapi juga proses dan kontribusi nyata pada kehidupan.
Harapan untuk Masa Depan: Sekolah yang Relevan dan Humanis
Apakah ini berarti pendidikan kita gagal total? Tidak. Namun ini adalah peringatan agar kita tidak terus-menerus menyempitkan makna pendidikan.
Pendidikan ideal adalah yang mampu menggali potensi setiap anak, mendampingi proses tumbuh mereka sebagai manusia utuh, dan membekali mereka menghadapi dunia nyata --- bukan sekadar menjadi mesin nilai. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, penuh dialog, dan memberi ruang aman bagi anak untuk bertumbuh. Kurikulum seharusnya adaptif terhadap perkembangan zaman, bukan hanya soal hafalan atau ulangan. Dan guru, perlu terus didukung untuk menjadi fasilitator pembelajaran yang reflektif, bukan sekadar pelaksana teknis.
Penutup: Mari Rebut Kembali Makna Pendidikan