PADANG - Meskipun telah menjadi tulang punggung sistem pembayaran digital Indonesia, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) masih menyisakan perdebatan kecil namun menarik: bagaimana cara melafalkannya yang benar?
Bank Indonesia (BI) telah menetapkan pelafalan resmi QRIS sebagai "Kris" - mengikuti kaidah Bahasa Indonesia. Namun realitas di lapangan menunjukkan fenomena yang berbeda. Masyarakat cenderung melafalkannya dengan beragam variasi: "Kyuris", "Kuiris", bahkan ada yang mengeja huruf demi huruf "Q-R-I-S".
Fenomena ini mencerminkan kecenderungan masyarakat Indonesia dalam mengadopsi istilah teknologi baru. Sebagian besar pengguna merasa pelafalan "Kyuris" terdengar lebih "internasional" dan familiar di telinga, mengingat kebiasaan masyarakat yang sering menggunakan pendekatan bahasa asing untuk akronim teknologi.
Filianingsih Hendarta, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, mengatakan cara mengucapkan QRIS yang benar adalah "kris". Huruf Q pada QRIS diucapkan K, bukan Q atau Qiu. "Saya sekali lagi ngomong ke bapak ibu bukan qiuris, bukan q-ris, apalagi qruis. Jadi kris, yang bener adalah kris," ujarnya saat acara BIRAMA 2022, Senin (5/12/2022), sebagaimana dilansir Kompas.com.
Secara teknis, perbedaan pelafalan memang tidak berpengaruh sama sekali. QRIS tetap berfungsi normal - scan QR code, bayar, selesai. Tidak ada masalah di sisi operasional.
Namun dari perspektif edukasi dan sosialisasi sistem pembayaran nasional, keseragaman istilah menjadi sangat penting. Ketidakseragaman pelafalan berpotensi menciptakan kebingungan dalam komunikasi publik dan mengurangi efektivitas kampanye literasi digital.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi BI dalam misi mempercepat adopsi teknologi pembayaran digital ke seluruh lapisan masyarakat..
QRIS yang diluncurkan pada 2019 oleh Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia telah mencatat prestasi menggembirakan. Sistem yang memungkinkan satu kode QR untuk semua aplikasi pembayaran ini kini telah digunakan oleh lebih dari 45 juta merchant di seluruh Indonesia.
Kehadiran QRIS telah merevolusi ekosistem pembayaran, mulai dari pedagang kaki lima hingga institusi publik. Sistem ini menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan visi cashless society yang dicanangkan pemerintah.
Di balik kesuksesan implementasi QRIS, tantangan sosialisasi terminologi tetap ada. Cara masyarakat menyerap istilah teknologi baru mencerminkan dinamika bahasa di era digital.
Fenomena pelafalan QRIS menunjukkan bahwa standardisasi tidak hanya soal aspek teknis, tapi juga melibatkan aspek sosial dan budaya. Diperlukan pendekatan edukasi berkelanjutan agar masyarakat bisa menggunakan istilah resmi dengan konsisten.