Mohon tunggu...
Faiqotul Himmah
Faiqotul Himmah Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga, Penulis Lepas, Aktivis parpol Islam -

khoirukum anfa'ukum linnas...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Perlukah Toleransi pada Pornografi?

18 Mei 2016   19:36 Diperbarui: 18 Mei 2016   19:49 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebih sebulan yang lalu, Yuyun ditemukan di semak belukar kebun karet tak jauh dari pemukiman warga dengan kondisi tidak bernyawa. Kasus pemerkosan yang disertai pembunuhan terhadap Yuyun, siswi SMP 5 Satu Atap Kecamatan Padang Ulak Tanding (PUT), Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu berhasil dibongkar aparat kepolisian, 12 dari 14 pelaku telah diringkus dan dinyatakan sebagai tersangka. Dua lainnya masih menjadi buronan. Dari hasil pemeriksaan aparat Polres Rejang Lebong dan Polsek PUT, pelaku menodai korban hingga menghabisi nyawanya sangat begitu sadis dan tidak manusiawi.

Dengan kondisi telungkup tak berbusana, kedua tangan terikat disilangkan ke kaki kanan, wajah lebam dan berulat serta kulit yang mulai mengelupas. Yuyun adalah seorang gadis SMP yang harusnya sedang menikmati masa remajanya. Tapi karena ulah 14 orang kriminil, ia harus meregang nyawa dengan cara yang memilukan. Hasil visum menyatakan, kemaluan dan anusnya menyatu. Ini karena ada pelaku yang mengulangi perbuatan bejatnya beberapa kali dan sadisnya lagi, bukan hanya kemaluan korban yang menjadi sasaran, tapi juga dubur dan mulut. Kepalanya dipukul kayu, lehernya dicekik. Tak dapat dibayangkan betapa sakit yang dialami oleh Yuyun ketika kejadian naas itu menimpanya.

Kasus Yuyun menjadi bukti bahwa kekerasan seksual bukan hanya marak terjadi di ibukota atau kota besar melainkan ‘merata’ hingga pelosok desa kecil. Jember pun tak luput. Januari 2016, seorang siswi di Jember diperkosa ramai-ramai oleh berandalan setelah dicekoki miras.Menurut suarajatimpos.com (11/5),rangking kejahatan seksual di Jember melonjak tajam.

Pornografi Biang Keladi

Kriminolog Anggi Aulina, menyatakan, perkosaan tidak sama dengan kejahatan lain. Kejahatan terjadi karena adanya niat, kesempatan dan kurangnya pengawasan. Sementara kejahatan perkosaan, bukan hanya disebabkan adanya niat, kesempatan dan kurangnya pengawasan namun juga karena adanya fantasi. Bahkan menurutnya, dalam kasus perkosaan, fantasi liar menjadi pemicu utama, baru kemudian niat dan kesempatan.

Pertanyaanya, dari mana fantasi liar ini muncul? Tentu kita semua sepakat, jawabnya adalah pornografi. Anggi Aulina menegaskan, fantasi liar yang sekarang beredar di masyarakat menjadi pendorong remaja/dewasa melakukan kejahatan perkosaan. Fantasi ini bisa terbentuk dari media dan lingkungan. Bahkan, menurut Anggi, media dan lingkungan menjadi sumber pembelajaran kejahatan. Metode, bagaimana cara memperkosa, kapan memperkosa, korban seperti apa yang rentan, semua bisa dipelajari. Ngeri bukan?

Apa yang dinyatakan Anggi bukan teori belaka. Kenyataannya, para ABG yang memperkosa Yuyun mengaku kepada polisi bahwa mereka sering menonton film porno yang diputar melalui DVD di rumah. Tak hanya itu, mereka juga terbiasa menonton adegan porno melalui telepon genggam.

Di era kecanggihan alat komunikasi atau gadget saat ini, konten pornografi-pornoaksi makin mudah didapat dan disebar. Pornografi-pornoaksi juga banyak terpampang di media cetak dan elektronik. Banyak tayangan majalah dan televisi mengarahkan pada kehidupan bebas dan mengumbar aurat wanita. Iklan-iklan dan berbagai film banyak bermuatan erotis. UU Pornografi tak bernyali karena semua atas nama seni.

Ya, inilah dahsyatnya serangan pornografi yang –sadar atau tidak- diimpor negeri ini dari Barat. Ideologi liberal yang dibawa satu paket dengan sistem demokrasi menempatkan kebebasan berperilaku sebagai hak yang harus dijunjung tinggi. Meminggirkan norma-norma ketimuran, kesusilaan dan agama. Wajar, secara asas, demokrasi lahir dari konsep pemisahan agama dengan aturan kehidupan. Dengan kata lain, agama ‘haram’ ikut campur dalam pengaturan negara/kebijakan publik. Jadilah pornoaksi-pornografi bak kacang rebus yang mudah dan murah didapat.

Tidak aneh, di negara kampiun demokrasi, angka pemerkosaan sangat mengerikan. Di AS, 1 dari 6 perempuan pernah diperkosa selama hidupnya. Di Inggirs, 1 dari 5 perempuan pernah menjadi korban pelecehean seksual sejak usia 16 tahun. Di Jerman, gereja Katolik sampai membolehkan pemakaian pil KB bagi korban saking tingginya kasus pemerkosaan. Di Kanada, total kasus pemerkosaan yang pernah dilaporkan sebanyak 2.516.918 kasus (sumber : WomenAndShariah, 2015).

Cukupkah pemberatan hukuman?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun