Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tasawuf Tanpa Nama

18 Juni 2023   14:36 Diperbarui: 18 Juni 2023   14:43 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://rumisufi.blogspot.com 

Dimulai dengan ungkapan salah seorang Fakih kenamaan yang sudah tidak lagi asing didengar oleh telinga kita umat Muslim sekalian, yakni Imam agung Malik bin Anas (w. 174):

"Siapa saja yang bertasawuf tanpa berfikih, maka dia zindiq. Dan siapa saja yang berfikih tanpa bertasawuf, maka dia fasik. Dan siapa saja yang menghimpun keduanya, maka dia akan sampai pada hakikat."

Ungkapan di atas banyak dikutip oleh ulama-ulama kekinian dan menisbatkannya kepada Imam Malik, seperti al-Adawi dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya untuk buku Syarh az-Zurqani li Mukhtashar al-'Izziyyah fii al-Fiqh al-Maliki.

Adapun menurut Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dalam bukunya  Majmu' al-Fatawa' serta Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) dalam bukunya at-Talbis menyatakan bahwa penisbatan kaul di atas kepada imam Malik tidaklah benar; karena term "Tasawuf" belum dikenal pada abad-abad pertama.

Term "tasawuf" memiliki beragam pengertian mengikuti warna kacamata seseorang yang meliriknya.

Siapa yang menyoroti tasawuf dari sudut pandang moral (akhlaqi), cenderung mengartikan tasawuf sebagai akhlak mulia, ambillah sebagai contoh, Abu Bakar al-Kattani (w. 322 H) yang mendefinisikan tasawuf sebagai "budi pekerti nan luhur, dan barangsiapa yang bertambah baik kualitas moralnya, bertambah pula kejernihan jiwanya." Atau Imam al-Junaid (w. 298) dan Abu Muhammad al-Jariri (w. 311 H) yang mengartikannya sebagai upaya "berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela".

Adapun yang meniliknya melalui kacamata kezuhudan (zuhdi), akan mendefinisikannya  dengan"menyedikitkan makan, lalu menyepi bersama Allah swt. serta berpaling dari manusia (gemerlap duniawi)." Demikian ucap Sahl bin Abdullah at-Tustari (w. 283 H). Agaknya pengertian ini yang paling melekat di benak orang banyak, ketika terlontar kata "sufi" ke telinga mereka, secara spontan yang tergambar dalam benak dan pikiran mereka adalah, manusia yang berpakaian compang-camping, tubuh kurus kerempeng karena kurang makan, serta individu yang anti sosial.

Sedangkan orang yang memandang tasawuf dari sudut penghambaan diri (ta'abbudi) lebih condong memahami tasawuf sebagai "ibadah kepada Allah swt. semata; karena hanya Dia yang patut disembah (dan dipertuhan), tidak untuk mengharap surga-Nya lagi tidak didorong oleh rasa takut (akan nyala) api neraka." Pengertian ini terilhami ungkapan Rabi'ah al-Adawiyyah (w. 185 H) yang begitu populer:

"Ya Allah! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka campakkanlah aku ke dalam neraka-Mu!. Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena mengharap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku beribadah kepada-Mu semata-mata mengharapkan "wajah"-Mu, maka janganlah Engkau haramkan aku melihat (keindahan)-Nya."

Betapapun indahnya ungkapan-ungkapan yang berupaya mengais hakikat tasawuf di atas, tetap saja mutiara yang berada  jauh di dasar laut hanya menampakkan secercah kilauannya ke permukaan air. Demikian paparan almarhum Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq dalam buku Mausu'ah at-Tashawwuf al-Islami.

Revisi Pemahaman Tasawuf oleh Muhammad Abduh 

Dinukil dari buku Studi Kritis Tafsir al-Manar karya Muhammad Quraish Shihab, bahwasannya Muhammad Abduh (w. 1905 M) muda pernah lari ke desa Syibral Khit ketika dipaksa oleh ayahnya untuk kembali belajar di Masjid al-Ahmadi, Thantha. Di desa itu banyak paman dari pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota ini lah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur'an dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliah. Sang paman berhasil mengubah pandangan Muhammad Abduh muda dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya. Bahkan, "Tidaklah berlalu lima hari dari masa pertemuannya itu, kecuali apa yang tadinya paling kusenangi seperti bermain, bercanda, dan berbangga-bangga, telah berubah menjadi hal-hal yang paling kubenci." Demikian Muhammad Abduh menceritakan pengalamannya.

Dari sini Muhammad Abduh kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda dibanding sewaktu pertama kali ia ke sana.

Satu hal yang perlu dicatat, bahwa pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh Syaikh Darwisy Khidr.

Kemudian pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani (w. 1897 M) pada tahun 1869 M, mengubah sikap Abduh yang tadinya hanya cenderung kepada pembinaan rasa dan penguasaan ide serta teori-teori ilmiah, ke arah sikap praktis yang menjadikan pemiliknya berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berjuang berdasarkan rasa dan ide-ide yang dimiliki guna menghadapi tantangan dan menanggulangi problem. Kemudian pertemuannya dengan al-Afghani juga menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik.

Haruskah Bertasawuf?

Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam bukunya Tasawuf Modern menjelaskan, tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti; karena hal ini merupakan substansi ajaran Islam. Dunia Fikih dan tasawuf tidak mesti dipertentangan.

Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana yang (konon) disebutkan oleh Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf, apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.

Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.

Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam al-Qur'an dan Hadis.

Change Your Life Charge Your Life with Sufism!

Di bawah judul kecil ini penulis mengajak para pembaca untuk sama-sama merenungkan kejadian-kejadian tak senonoh yang kerap kita temui dalam kehidupan kita lalu menyandingkannya dengan nilai-nilai tasawuf, dan asumsikanlah dalam dunia ide kita bagaimana jika nilai-nilai itu diterapkan dalam kehidupan. Adapun dii sini penulis hanya membatasi pembahasan pada dua peristiwa yang penulis timbang amat patut mendapatkan perhatian:

Belakangan ini marak terjadi pembunuhan berencana gegara Harta Warisan, salah satunya seperti yang dilansir platform berita detiknews, "ditemukan empat kerangka manusia yang terpendam di kebun belakang rumah warga di Grumbul Karanggandul, Pasinggangan, Banyumas, Jateng, mereka adalah anak-anak dan cucu pemilik pekarangan, Misem. Keempatnya dihabisi saudaranya sendiri karena konflik warisan." Betapa tersayat hati ini mendengar peristiwa berdarah gegara masalah sepele seperti itu.

Kemudian masih ingatkah dengan nama-nama ini: Said Agil Husin al-Munawar, Luthfi Hasan Ishaaq, Suryadharma Ali, Ahmad Fathanah, KH Fuad Amin Imron, Gatot Pujo Nugroho? Ya, kesemuanya adalah tokoh agama Islam yang pernah tersandung kasus korupsi. Apakah mereka orang miskin yang selalu memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk makan besok? Pernahkah melihat mereka mengenakan baju koyak tak layak pakai? Pernahkah?!

Apalah jadinya hati jika sudah menjadi sarang setan. Jiwa rakus layaknya kera sudah merajai jasad mereka. Alangkah menganga mereka yang hidup dalam sistem yang rusak jika nilai-nilai tasawuf menjelma menjadi sebuah jasad yang kemudian bertegur sapa dengan mereka semua. Bagaimana tidak, jika sistem zalim mendidik anjing-anjing mereka agar selalu merasa tidak puas atas harta yang didapat, maka tasawuf mengajarkan kanaah, yakni menerima atau merasa puas atas apa yang sudah menjadi bagaiannya. Atau menurut Abu Abdillah bin Khafif, meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan menganggap cukup sesuatu yang ada di muka.

Hidup dalam dunia tasawuf akan selalu didendangkan sabda Nabi saw. dari Jabir bin Abdullah:

"Kanaah ibaratkan harta simpanan yang tidak akan rusan dan binasa." (HR. Ath-Thabrani).

Juga sabda Nabi saw. yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra.:

"Jadilah orang yang wara', maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli beribadah. Jadilah orang yang kanaah, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri, maka engkau akan menjadi orang mukmin yang baik. Berbuatlah baik kepada tetanggamu, maka engkau menjadi orang Islam yang baik. Sedikitkan tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati." (HR. Al-Baihaqi). Begitupun hadis-hadis senada.

Tidak kalah memalukan dengan kasus di atas. Saya sebagai bagian dari ritus keilmuan tertua sepanjang sejarah peradaban Islam merasa kecewa dengan teman-teman satu atap saya. Tidakkah terbesit dalam memori mereka senyum bangga Abu al-Wafidin yang sama-sama kita cintai dan hormati atas penilaiannya terhadap "baju berhiaskan emas" yang tengah kita kenakan sekarang? Dan apakah ombak Aleksandria menghempaskan rasa malu mereka hingga ke teluk Aimere? Sungguh, mereka adalah mukmin lemah yang dikalahkan oleh hawanya sendiri sampai diblenggu dan diperbudak, lebih-lebih hawa itu sendiri dijadikannya tuhan. Renungkanlah firman Allah swt:

"Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawanya sebagai tuhannya?" (QS. Al-Furqan [25]: 43). Tuhan ialah yang disembah dan diikuti perintahnya.

Padahal jika mereka mengoptimalkan pemakaian gadget mereka untuk membuka nasihat-nasihat nan menggugah jiwa di YouTube, niscaya mereka akan menemukan "Sang Bapak" menasihati anak-anaknya agar memelihara ifah dan rasa malu demi meluluhlantakkan kesenjangan sosial serta menjaga tiang-tiang kehidupan yang seimbang. Inilah satu di antara nilai-nilai tasawuf yang mesti kita terapkan di dalam kehidupan kita.

Bukankah kita umat Muslim diwasiatkan untuk memerangi hawa nafsu kita sendiri? Amatilah tulisan HAMKA di bawah ini:

"Peperangan adakalanya kalah dan adakalanya juga menang. Orang yang berperang berganti kalah dan menang inilah yang patut disebut "Mujahid". Kalau dia mati di dalam perjuangan itu, matinya pun mati syahid; karena bukanlah orang mati syahid itu di dalam pertempuran perang dengan musuh lahir saja, musuh hawa itulah yang besar. Rasulullah saw. setelah kembali dari satu peperangan besar bersabda kepada sahabat-sahabatnya:

"Kita ini kembali dari peperangan yang paling kecil, menuju peperangan yang lebih besar."

Setelah ditanya seseorang, beliau menjawab peperangan melawan hawa nafsu itulah perang yang paling besar.

Pernah pula orang bertanya kepada Rasulullah saw.: 'Apakah perang yang paling utama ya Rasulullah?' Beliau menjawab: "Engkau perangi hawa nafsumu". "

Camkanlah! Tasawuf bertujuan untuk membersihkan jiwa tanpa harus menjadi puritan dan sektarian. Itulah yang ditegaskan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, digambarkan oleh Imam al-Junaid, serta direvisi oleh Muhammad Abduh. Dan inilah yang saya sebut dengan "Tasawuf Tanpa Nama". -Allahu A'lam bi ash-Shawab-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun