Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pantai Gampong Jawa, Tempat bagi Mereka yang Optimis Jalani Kehidupan

3 Maret 2019   12:58 Diperbarui: 3 Maret 2019   14:02 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Gampong Jawa (dok pribadi)

Nikmat apa yang paling besar bagi manusia? Pertanyaan itu tentu memiliki pelbagai jawaban beserta argumentasi yang variatif tergantung dari sudut pandang masing-masing.

Tapi apa pun bentuk kenikmatan yang diidam-idamkan, muara dari pada kenikmatan itu tetaplah kebahagiaan bersama keluarga dengan hanya bersantai-santai bermain riang gembira.

Nah, permainan yang riang gembira ternyata ini yang membuat manusia saling berbeda pendapat akan makna kenikmatan tersebut.

Bagi mereka yang telah terpapar dengan pengalaman traveling keluar negeri, tentunya kenikmatan yang terbayangkan adalah ketika menikmati malam di depan menara kembar Petronas atau bahkan saat-saat belanja di mitsui jelang keberangkatan pulang di Kuala Lumpur International Airport.

Atau bagi yang telah melakukan perjalanan ziarah religi ke tanah suci seperti umrah ataupun haji maka seakan tak ada pengalaman yang lebih nikmat dari pada menghabiskan waktu di hadapan Ka'bah ataupun shalat di Masjid Nabawi.

Bagi golongan yang pernah memiliki kemudahan penghasilan, tentu ketika dilanda 'krisis' keuangan pribadi yang disebabkan sesuatu dan lain hal akan merasa tertekan baik ringan maupun berat bahkan bila tak dikelola akan memicu stres yang berujung pada depresi.

Keluarga kecil diatas revetment pantai Gp Jawa (dok pribadi)
Keluarga kecil diatas revetment pantai Gp Jawa (dok pribadi)
Beda halnya dengan mereka yang terbiasa dengan keterbatasan penghasilan, hiburan bersama keluarga itu dapat dinikmati secara sederhana. Hanya berbekal panganan yang dibawa sendiri dari rumah, tanpa keluh kesah mereka tetap riang gembira walau ruang terbuka publik yang bisa didatangi tanpa perlu membayar uang masuk sudah semakin sempit.

Kota Banda Aceh yang tersohor dengan kemegahan bangunan mesjidnya, menyimpan sudut kumuh dimana fasilitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terletak yaitu di Gampong Jawa.

Di sini ada pantai kecil yang masih bertahan dari abrasi, di pagi hari ketika akhir pekan merupakan destinasi pilihan bagi keluarga dengan penghasilan pas-pasan untuk menikmati pesona alam tanpa harus membayar mahal.

Liburan akhir pekan bersama keluarga akan menjadi sarana menghabiskan alat tukar mengingat bahwa tiap wahana permainan akan memungut biaya mulai dari tiket masuk hingga biaya tambahan berupa sewa peralatan dsb.

Kalau pun pantai yang telah dikelola dengan baik diman pelbagai fasilitas sudah tersedia maka tetap saja akan menjadi ruang terbuka publik yang berbayar. 

Apakah kemudian pintu kebahagiaan dunia sudah tertutup bagi kaum penghasilan rendah? Ternyata tidak seperti itu, mereka akan beradaptasi dengan perkembangan zaman secara cerdas. Tanpa merasa tertekan apalagi dipinggirkan, hari-hari yang tersisa untuk mengapai cita-cita dinikmati sedapat mungkin nihil biaya tambahan.

Mengeluhkah mereka? Tampaknya tidak, karena sikap 'qanaah', yaitu keridhaan akan keputusan Ilahi dalam kehidupan, mampu mengantarkan manusia pada suatu karakter yang tak masuk akal.

Layaknya sebuah kisah yang shahih tentang keadaan Baginda Nabi Muhammad shallahu'alaihi wassallam, ketika datang kepada Beliau seorang Arab pedalaman (badui) yang kasar perangainya. Seketika selendang Beliau shallahu'alaihi wassallam ditariknya hingga serat kasar kain itu menyayat kulit leher Nabi shallahu'alaihi wassallam, namun air muka Beliau tak merengut bahkan spontan tersenyum melihat kelakuan si badui. Ketika keinginan orang Arab kampung ini diutarakan, Beliau pun memenuhinya dan membuat dia pulang dengan puas.

Lain lagi kisahnya ketika penduduk luar kota Madinah membawa pulang kambing, unta dan kuda ke kampung halamannya. Suku Aus dan Khazraj, sebagai kaum Anshar yang menjadi penolong Nabi shallahu'alaihi wassallam, tidak keberatan bila mereka tak kebagian sedikit pun asalkan Baginda shallahu'alaihi wassallam tetap pulang ke Madinah bersama mereka.

Mengelar tikar di pantai Gp Jawa (dok pribadi)
Mengelar tikar di pantai Gp Jawa (dok pribadi)
'Maka nikmat Tuhan kamu yang mana yang hendak  kamu dustakan?' Begitulah sang Ilahi menegur kita ciptaannya agar tidak suka berkeluh kesah akan kekurangan walaupun hati rasanya tak berkenan.

Karena terlalu banyak sebab yang bisa mengantarkan kita pada level keadaan yang lebih 'tragis' daripada apa yang saat ini masih kurang diterima 'hawa nafsu'. Hanya ketika akal mampu mencerma kemungkinan yang lebih 'buruk' dalam standar hawa nafsu barulah perasaan qanaah atau legowo akan takdir kehidupan mampu menguasai keadaan.

Bagi mereka yang percaya akan sifat Maha Kuasa dan Maha Adil sang Pencipta, tentu tidak akan mudah panik bila terjadi sedikit 'turbulensi' roda pendapatan dan pengeluaran ketika masih mengudara di dunia fana ini.

Toh, ada banyak cara untuk tetap dapat menikmati keceriaan bersama keluarga tercinta asalkan pikiran tetap optimis dengan keadaan hari esok. Apa pun yang terjadi itulah yang terbaik setelah segala daya upaya telah dikerahkan pada hari-hari sebelumnya.

Bukankah diantara gambaran kebahagiaan penduduk surga adalah keceriaan mereka bersama keluarganya di taman-taman yang bersisian dengan sungai-sungai? Lantas apa yang menjadi alasan bagi kita untuk menjadi pesimis dengan hari esok bila masih mampu menikmati secuil panorama dunia bersama keluarga? Optimislah, karena dengan seperti itulah kita terhindar dari mendustakan nikmat Tuhan yang sudah dicicipi selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun