Mohon tunggu...
Fahrizal Muhammad
Fahrizal Muhammad Mohon Tunggu... Dosen - Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya

Energi Satu Titik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memperjuangkan Nama

29 Februari 2020   10:57 Diperbarui: 29 Februari 2020   11:10 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Fahrizal Muhammad

Kehidupan berputar dan bergilir. Kini kita insyafi, nama bukan sekadar reputasi tetapi perjuangan untuk menempatkan sang empunya pada maqam terbaik. Untuk itu ada sejumlah hal menarik dapat kita catat. 

Pertama, setiap orang punya kesempatan dan hak yang sama mencatatkan namanya di "langit" karena mencari  nama sering diartikan mencari kemuliaan. Semua orang harusnya termotivasi untuk menjadi makhluk terbaik di hadapan Sang Maha Pencipta. Sayangnya, tidak semua orang memperoleh keberuntungan mendapatkan nama baik berupa prestasi hakiki sebagai manusia.

Kedua, dalam mencari nama, seseorang tidak boleh menenggelamkan dan membuat buruk nama orang lain, apalagi sampai membunuh karakter orang lain. Kesadaran bahwa kita sama di hadapan Allah SWT seharusnya memberi ruang kontemplasi yang cukup untuk mereka yang senantiasa merasa lebih bermakna karena gelar, keturunan, usia, kedudukan, pendidikan, pengalaman, dan status sosial. 

Seharusnya, jangan tumbuh anggapan, mengekploitasi potensi sekeliling itu menjadi sah atas semua predikat yang ada. Setiap orang boleh berjuang untuk namanya tetapi tetap dalam koridor muamalah yang baik.

Ketiga, nama baik adalah pelayanan, pengorbanan, dan proses. Demi menjaga nama, sejumlah produsen mobil menarik produknya yang ternyata cacat. Dalam konteks itulah kita mengenal sebutan "produk gagal". Dengan artikulasi berbeda, untuk mempertahankan nama baik dan elektabilitas, sebuah partai politik dapat me-recall  kadernya yang korup dari lembaga legislatif.

Namun, manusia tidak bisa seperti itu. Bila seseorang "dinilai gagal" menunaikan tugas kemanusiaannya karena menjadi ahli maksiat dan kejahatan, orang tua tidak mungkin me-recall-nya untuk menjadi tiada. Ia akan tetap hidup dengan harapan tetap memiliki kesempatan untuk "kembali" ke fitrah penciptaannya sebagai manusia.

Keempat, nama baik itu standard moralitas. Tentu kita masih ingat peribahasa ini: "sekali lancung keujian seumur hidup orang tak percaya". Nampaknya peribahasa ini sudah mulai terkoreksi. Mengapa? Buktinya, seberapa banyak orang yang namanya rusak karena korupsi, berzina, dan tindak kemaksiatan dan kekejian lain sekarang masih bisa tersenyum dan dipercaya. 

Mereka tetap dapat jadi public figure dan pejabat publik. Masyarakat menerima mereka seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Gejala apakah ini? Apakah karena masyarakat sudah kehilangan standard nilai dan tidak lagi melihat keburukan sebagai keburukan ansich tetapi sebagai sebuah proses? Innalillahi...

Kita pasti sepakat, setiap orang boleh berjuang untuk namanya. Setiap orang berhak mendapatkan bagian dari apa yang diupayakannya. Namun demikian, tetaplah menjaga kehormatan diri agar perjuangan mencari nama dalam perjalanan waktu tidak melayang sia-sia. Bukankah pada akhirnya, kemenangan akhir (husnul khatimah) jualah yang kita cari bersama?

Wa Allah A'lam bish-shawab. 

 

Depok, 29 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun