Mohon tunggu...
FAHREZA ANANDITA PP
FAHREZA ANANDITA PP Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UIN MALANG

OLAHRAGA DAN KESENIAN

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Joyoboyo sebagai Identitas Kediri

15 November 2022   05:11 Diperbarui: 15 November 2022   05:18 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Upacara adat di petilasan Sri Aji Joyoboyo ini merupakan tradisi turun temurun dan dilestarikan oleh masyarakat Desa Kemenangan sejak tahun 1976 hingga sekarang. Pemugaran Sri Aji Joyoboyo dimulai pada tanggal 22 Februari 1975, berlangsung selama 1 tahun hingga selesai pada tanggal 17 April 1976, setelah itu diadakan upacara adat setiap bulan Januari Suro untuk menghormati dan mendoakan Sri Aji Joyoboyo (Wawancara dengan M. Suratin sebagai Pelindung Sendang Tirto Kamandanu Bagi orang Jawa, bulan Suro dalam penanggalan Jawa dianggap sebagai bulan suci, sebagaimana R.M Sayid mengatakan bahwa bulan Suro dianggap sebagai salah satu bulan paling suci karena bagi orang Jawa yang mewarisi harta dalam berbagai bentuk kemudian dijadikan barang berharga yang dimandikan atau disucikan untuk hidup kembali.

Penduduk itu kemudian dimandikan atau disucikan agar menjadi bersih atau suci. Bagi yang memiliki harta warisan tetapi tidak disucikan, mandi tidak dihiraukan, bisa berbahaya, merusak kehidupan sehari-hari si pewaris. Oleh karena itu, untuk menyambut bulan yang istimewa ini, masyarakat Jawa akan sering mengadakan berbagai bentuk upacara dan perayaan. Perayaan Suro ini telah berlangsung selama berabad-abad, dan kegiatan yang berulang-ulang akhirnya menjadi kebiasaan dan tradisi yang harus dilakukan setiap tahun. Inilah yang disebut budaya dan merupakan ciri masyarakat. Salah satu ritual dan sudah menjadi tradisi menyambut bulan Suro adalah tradisi Grebeg Suro. Khususnya untuk Kabupaten Kediri sendiri.

digunakan sebagai tanda kembali ke asal atau kembali ke kesucian, menghindari malapetaka dan selalu menerima perlindungan Tuhan di tahun yang akan datang. Petilasan Sri Aji Jayabaya dianggap oleh masyarakat sebagai tempat moksa salah satu raja kerajaan Kadiri, Sri Aji Jayabaya. Ada versi yang berbeda, baik rasional maupun irasional, bahwa tempat ini adalah tempat pembuatan moksa Sri Aji Jayabaya. Sampai saat ini, tidak ada bukti fisik atau tertulis bahwa tempat ini adalah situs moksa Sri Aji Jayabaya. Setelah diakui sebagai tempat lahirnya moksa oleh Sri Aji Jayabaya, banyak dikunjungi masyarakat dari luar dan dalam wilayah Kediri. Komunitas Kampung Kemenangan yang tertarik dengan pelestarian budaya bergabung dan membentuk komunitas tradisi budaya lokal yang disebut "Paguyuban Sri Aji Jayabaya", yang kemudian menjadi pengelola dan merawat petilasan selama ini.

Paguyuban Sri Aji Jayabaya secara rutin menyelenggarakan kegiatan ritual adat budaya yang diikuti oleh banyak komunitas pelestarian budaya lainnya dari luar wilayah Kediri. Salah satunya adalah keluarga Honddento yang kini dikenal dengan Yayasan Honddento yang merupakan traveler petilasan sekaligus komunitas yang tertarik untuk melestarikan tradisi budaya yang berasal dari Yogyakarta. Pada awal kunjungan keluarga Honddento ke candi Sri Aji Jayabaya, keadaan petilasan tetap berupa gundukan dengan batu nisan di atasnya dan dikelilingi oleh batu bata merah. Dalam situasi seperti itu, dapat dilihat bahwa di masa lalu, beberapa pihak ingin memperbaiki dan memulihkan petilasan yang rusak dan tidak stabil. Proses pemugaran berlangsung 1 tahun selama 420 hari, mulai dari peletakan batu pertama pada Sabtu 22 Februari 1975 hingga akhir Sabtu 17 April 1976.

Ritual Adat Tradisi di petilasan Sri Aji Jayabaya mulai digelar tahun 1976 setiap awal bulan Suro, tepat setelah pemugaran petilasan. Komunitas Victory Village didukung oleh Yayasan Hondodento Yogyakarta untuk menjalankan tradisi 1 Suro di petilasan Sri Aji Jayabaya selama ini. Dalam setiap praktik tradisional di suatu daerah, diperlukan perubahan. Perubahan-perubahan yang ada dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan. Peristiwa tersebut dapat dipengaruhi oleh keadaan daerah itu sendiri serta pola pikir manusia yang semakin mengalami perkembangan. Hal yang sama juga terjadi saat pementasan ritual adat 1 Suro di petilasan Sri Aji Jayabaya. Pertunjukan ritual di petilasan Sri Aji Jayabaya telah berubah dari tahun ke tahun.

Proses pelaksanaan upacara adat Suro di pura Sri Aji Jayabaya diawali dengan upacara pembukaan di kantor kepala desa Menang ke arah petilasan dan berakhir pada musim semi Tirto kamadanu yang merupakan upacara penutupan. Upacara petilasan dibagi menjadi 2 tempat. Tempat pertama ada di moksa loka, butik fashion dan toko mahkota. Situs kedua adalah di mata air Tirto Kamandanu. Susunan upacara adat Suro di Bengkel Moksa Sri Aji Jayabaya, Sanggar Busana dan Bengkel Mahkota Petilasan adalah sebagai berikut.

Pukul 07.00 para pelaku dan peserta upacara mengikuti rangkaian upacara pembukaan yang berlangsung di pendopo kantor kepala desa. Rangkaian acara pengukuhan antara lain sambutan dari Kepala Daerah dan Pemerintah Kabupaten Kediri serta Ketua Panitia Penyelenggara Upacara dan perwakilan dari Honddento Foundation. Seluruh pelaku dan peserta upacara tiba di lokasi upacara pertama di petilasan Sri Aji Jayabaya yaitu moksa     , bengkel penjahit dan mahkota pukul 09:45 dan siap menempati lokasi titik yang ditentukan. Pada saat yang sama, setelah semua pelaku dan peserta upacara siap, pada pukul 10:00, selebran memulai upacara dengan kata sambutannya.

Setelah hening sejenak, kepala rombongan upacara menghampiri moksa loka untuk menyampaikan maksud dan tujuan kehadiran rombongan upacara di hadapan prabu Sri Aji Jayabaya. Acara selanjutnya adalah tabur bunga yang dilakukan oleh 16 gadis di pelataran timur moksa loka sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih atas kehadiran arwah agung dan leluhur. 

Pukul 10.20 WIB, dilanjutkan dengan Acara Caos Dahar yang dilaksanakan serentak di tiga lokasi berbeda yaitu di bengkel moksa yang dijalankan oleh Kepala Desa Menang, Ketua Upacara dan Panitia Penyelenggara, di puncak bengkel Bpk Carik Desa Menang, di bengkel busana Ibu Kepala Desa dan Ibu Carik Desa Menang. Bersama-sama, caos dahar dilakukan dan ditemani oleh pembawa bunga dan payung bertumpuk.

Upacara adat di petilasan Sri Aji Jayabaya merupakan tradisi budaya yang diturunkan dari nenek moyang masyarakat Jawa. Upacara penghargaan desa adat ini berlangsung di petilasan seorang raja yang pernah memerintah kerajaan Kadiri, yaitu kerajaan Panjalu dengan ibukota Dahanapura. Orang percaya bahwa tempat ini adalah tempat moksha Sri Aji Jayabaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun