Mohon tunggu...
Fahmi Fahrezi
Fahmi Fahrezi Mohon Tunggu... Junior Researcher Counseling

Lulusan Sarjana Bimbingan dan Konseling Islam dengan landasan dan konsentrasi pada riset dan pengajaran. Saya memiliki pengalaman praktis sebagai peneliti muda untuk menyelesaikan Tugas Akhir (TA) yang didanai Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), di mana saya terbiasa melakukan analisis data dan menyusun laporan ilmiah. Selain itu, pengalaman aktif di berbagai organisasi mahasiswa membekali saya dengan kemampuan komunikasi strategis, kepemimpinan tim, serta keahlian dalam mengelola media digital dan merancang konten yang efektif. Saya adalah individu yang kolaboratif, berorientasi pada detail, dan siap mengintegrasikan latar belakang akademis dengan keterampilan praktis untuk berkontribusi pada lingkungan kerja yang dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Retaknya Fondasi Demokrasi: Korupsi, Elite Politik, dan Pudarnya Kepercayaan Publik

6 September 2025   19:00 Diperbarui: 6 September 2025   17:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di satu sisi, kita disuguhi dengan serangkaian headline yang menggegerkan tentang pengungkapan kasus-kasus mega-korupsi dengan nilai kerugian yang fantastis, mencapai ratusan triliun rupiah. Narasi yang disampaikan oleh media dan penegak hukum seolah menggambarkan sebuah pertempuran sengit yang sedang dimenangkan, di mana para penjahat kerah putih, yang selama ini tidak tersentuh, akhirnya berhasil diringkus. Namun, di sisi lain, sebuah kontradiksi yang menguji nalar terjadi. Di balik gemuruh kabar penindakan, kita justru menyaksikan sebuah tren yang menyedihkan: pudarnya kepercayaan publik yang signifikan terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, bahkan terhadap parlemen dan partai politik itu sendiri. 

Laporan ini berargumen bahwa korupsi di Indonesia telah melampaui sekadar masalah keuangan. Ia telah berevolusi menjadi sebuah penyakit sistemik yang merusak tiga pilar fundamental demokrasi: integritas negara, representasi politik, dan yang paling berbahaya, keyakinan rakyat terhadap sistem itu sendiri. Keretakan ini tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga menciptakan demoralisasi sosial dan apatisme massal. Laporan ini akan mengupas keruntuhan ini dalam tiga bagian: pertama, skala kehancuran yang diukur oleh data; kedua, anatomi korupsi politik yang melibatkan kolaborasi antara elite dan modal; dan ketiga, dampak sosial langsung yang dirasakan oleh masyarakat, yang akhirnya melahirkan krisis kepercayaan. 

Setiap tahun, data dari lembaga independen dan pemerintah melukiskan gambaran yang mengerikan tentang skala korupsi di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat total kerugian negara akibat korupsi sepanjang tahun 2023 mencapai Rp 56 triliun, sebuah angka yang lebih tinggi dari Rp 48 triliun pada tahun 2022. Meskipun angka ini sedikit menurun dari puncaknya pada tahun 2021 yang mencapai Rp 62 triliun, skala kerugian ini tetap masif dan sulit dibayangkan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga tidak ketinggalan dalam mengungkap indikasi kerugian negara yang signifikan, seperti yang terjadi pada PT Indofarma dan anak perusahaannya yang mencapai Rp 371 miliar. Angka-angka ini, yang seolah-olah hanya menjadi deretan nol, sejatinya merupakan representasi dari uang rakyat yang hilang, yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan, pendidikan, dan kesehatan.   

Ketika kita menelaah kasus-kasus mega-korupsi yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir, terlihat bahwa korupsi di Indonesia telah mencapai dimensi yang merusak fundamental. Contohnya termasuk kasus Tata Niaga Komoditas Timah (2015-2022) dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) (1997-2021) dengan kerugian Rp 138,44 triliun, dan Penyerobotan Lahan Duta Palma (2003-2022) yang merugikan negara hingga Rp 78 triliun. Kasus lainnya seperti PT TPPI (2009-2011) merugikan Rp 37,8 triliun, PT Asabri (2012-2019) sebesar Rp 22,78 triliun, dan PT Jiwasraya (2009-2019) sebesar Rp 16,8 triliun. Ada juga kasus Izin Ekspor CPO (2021-2022) yang merugikan Rp 12 triliun, Pengadaan Pesawat Garuda (2011) sebesar Rp 9,37 triliun, dan Proyek BTS Kominfo (2020-2022) yang merugikan Rp 8 triliun.   

Ada sebuah kesenjangan yang sangat besar antara nilai kejahatan yang terjadi dan kapasitas negara untuk memulihkan kerugiannya. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2024 menyebutkan bahwa optimalisasi aset dari tindak pidana korupsi mencapai Rp 303.2 miliar. Angka ini, meskipun terlihat besar, secara drastis kontras dengan kerugian yang mencapai puluhan bahkan ratusan triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem penegakan hukum, meskipun gencar melakukan penindakan, belum mampu mengejar skala kejahatan yang sudah begitu masif. Korupsi telah menjadi "bisnis" yang sangat menguntungkan dengan risiko minimal bagi para pelakunya, terutama dari sisi pengembalian aset. Selama kesenjangan ini terus ada, korupsi akan tetap menjadi kejahatan yang menggiurkan bagi para elite.

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dari Transparency International sering kali dianggap sebagai termometer kesehatan sebuah negara dalam melawan korupsi. Tren skor CPI Indonesia selama satu dekade terakhir menunjukkan sebuah kisah yang kurang membanggakan. Setelah sempat naik, skor CPI Indonesia anjlok empat poin pada 2022, kembali ke angka 34 , skor yang sama saat periode pemerintahan 2014 dimulai. Penurunan ini disebut sebagai yang terburuk sejak era reformasi, menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara. Meskipun skor CPI tahun 2024 menunjukkan sedikit perbaikan, naik tiga poin menjadi 37 , angka ini masih jauh di bawah rata-rata kawasan Asia Pasifik yang berada di angka 45.   

Tren skor CPI selama satu dekade terakhir menunjukkan fluktuasi yang signifikan: setelah skor 34 pada 2014, skor naik menjadi 36 (2015), 37 (2016), 37 (2017), dan mencapai puncaknya di 40 pada 2019, sebelum anjlok ke 37 (2020) dan 38 (2021) dan akhirnya kembali ke 34 (2022-2023) dan kemudian naik lagi ke 37 (2024). Skor CPI yang kembali ke titik awal setelah 10 tahun bukanlah sekadar statistik, melainkan sebuah indikasi kuat bahwa strategi pemberantasan korupsi di Indonesia telah mencapai titik stagnasi atau bahkan mengalami kemunduran fundamental. Para pengamat, seperti peneliti dari ICW, menganggap penurunan ini sebagai bukti "kegagalan politik dan hukum" dalam memberantas korupsi. Hal ini secara langsung terkait dengan pelemahan regulasi, seperti revisi Undang-Undang KPK , yang dianggap memangkas kewenangan lembaga antikorupsi tersebut dan memberi peluang bagi koruptor untuk beraksi lebih leluasa. Dengan demikian, CPI tidak hanya mengukur persepsi korupsi, tetapi juga mencerminkan kegagalan politik dalam membangun sistem yang lebih kuat dan memiliki komitmen yang tak tergoyahkan.

Data di lapangan menunjukkan bahwa korupsi tidak terjadi secara acak, melainkan melalui pola dan modus operandi yang terorganisir, sebuah "proyek bancakan" yang terstruktur dan masif. Analisis dari Pusat Edukasi dan Antikorupsi (ACLC) KPK mengidentifikasi tiga modus utama korupsi politik yang melibatkan para elite: (1) penyalahgunaan jabatan, (2) korupsi pada momen elektoral, dan (3) korupsi dalam pembuatan kebijakan. Modus-modus ini tidak beroperasi secara terpisah, melainkan saling terkait dalam sebuah lingkaran setan yang menggerogoti demokrasi dari dalam.   

Salah satu contoh paling nyata dari penyalahgunaan jabatan dan kerusakan sistem pengawasan dapat dilihat dari kasus yang melibatkan auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), Kementerian Perhubungan. Auditor, yang seharusnya menjadi "mata dan telinga" negara untuk mendeteksi penyimpangan dan kerugian keuangan, justru diduga terlibat dalam memanipulasi hasil audit dengan menghapus atau mengurangi temuan korupsi demi mendapatkan suap. Keterlibatan lembaga pengawas ini adalah bukti konkret bahwa korupsi telah merusak fondasi integritas dari dalam, melemahkan kemampuan untuk mendeteksi dini tindak pidana korupsi dan pada akhirnya merusak akuntabilitas seluruh sistem. 

Seperti yang disampaikan oleh Wuryono Prakoso, Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK: 

"Saat terpilih, kekuatan yang mereka kuasai hanya untuk kepentingan segelintir orang. Suara rakyat tidak didengar lagi. Kalau tidak didengar, pasti kepentingan publik terabaikan, pelayanan publik juga pasti tidak akan optimal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun